Minggu, 06 Mei 2012

Teori Pertumbuhan wilayah


silas petra silitonga
123 07 0003
PL ITI
Teori Pertumbuhan wilayah
Teori yang digagaskan adalah teori “Keynes”, teori ini masuk dalam aliran Keynes, isinya yaitu mengemukakan bahwa karena upah bergerak lamban, sistem kapitalisme tidak akan secara otomatis menuju keseimbangan penggunaan tenaga secara penuh (full employment equilibrium). Akibat yang ditimbulkan adalah justru sebaliknya, equilibrium deemployment yang dapat diperbaiki melalui kebijakan fiskal atau moneter untuk meningkatkan permintaaan agregat.

Fenomena tersebut masuk dalam teori neoklasik. Dalam teori ini terdapat beberapa pernyataan yaitu sebagai berikut :
►    Pemenuhan pekerjaan yang terus menerus tidak dapat diterapkan pada sistem multi-regional dimana persoalan regional timbul disebabkan karena perbedaan-perbedaan geografis dalam hal tingkat penggunaan sumber daya.
►    Persaingan sempurna tidak dapat diberlakukan pada perekonomian regional dan spasial.
►    Tingkat pertumbuhan terdiri dari 3 sumber: akumulasi modal, penawaran tenaga kerja dan kemajuan teknologi.
►    Implikasi dari persaingan sempurna adalah modal dan tenaga kerja akan berpindah apabila balas jasa faktor-faktor tersebut berbeda-beda.
►    Modal akan bergerak dari daerah yang mempunyai tingkat biaya tinggi ke daerah yang mempunyai tingkat biaya rendah, karena keadaan yang terakhir memberikan suatu penghasilan yang lebih tinggi.
►    Tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan akan pindah ke daerah lain yang mempunyai lapangan kerja baru pendorong untuk pembangunan di daerah tersebut.
►    Dalam perkembangan ekonomi jangka panjang senantiasa akan muncul kekuatan tandingan yang dapat menanggulangi ketidakseimbangan dan mengembalikan penyimpangan kepada keseimbangan yang stabil sehingga tidak diperlukan intervensi kebijakan secara aktif.

Peran suatu perencana kota dan wilayah dalam satu pemerintahan kota, kabupaten, dan propinsi adalah sebagai berikut :
  1. Perencana sebagai pelayan publik yang netral(berpegang teguh pada profesinya). Para perencana digunakan untuk memberitahukan masyarakat untuk bertindak yang paling baik seperti apa yang mereka inginkan. Jika pilihan akan dilakukan, perencana akan menggunakan keahliannya untuk memperkirakan bagaimana alternatif-alternatif yang beragam akan dipilih.
Contoh: Pada perencanaan suatu kawasan perdagangan, perencana memberikan alternatif kepada masyarakat pembeli maupun pedagang tetapi alternatif itu tidak bersifat memaksa kepada masyarakat.
  1. Perencana sebagai pembangun konsensus masyarakat. Dalam pandangan ini perencana tidak dapat dilepaskan dari politik. Karena perencanaan tidak dapat dilaksanakan tanpa kemauan politik dan kemauan untuk bertindak, perencana harus dekat atau bahkan bagian dari proses politik.
Contoh : Politik di sini maksudnya adalah pemerintah, perencana tidak dapat mengumpulkan data-data untuk dipertimbangkan dan dijadikan bahan acuan dalam menentukan alternatif bagi masyarakat.
  1. Perencana sebagai enterprenur/wirawasta. Perencana yang menjalankan suatu agen/kantor yang berorientasi pada tugas, para perencana sering kali menjadi enterprenur.
Contoh : Misalnya dalam suatu pembangunan di pusat kota yang menggunakan dana publik untuk menyiapkan lokasi dan pembebasan tanah. Perencana yang kantornya melaksanakan rancangan proyeknya juga akan menjalankan pemasarannya.  Dengan demikian perencana harus lebih berperan sebagai enterprenur dari pada perencana tradisional yang hanya merencana/merancang.
  1. Perencana sebagai advokasi. Peranan perencana dalam hal ini bertindak sebagai perwakilan untuk suatu kelompok tertentu atau posisi dan dipilih untuk melanjutkan  kepentingan tertentu. Perencanaan advokasi, seperti penasehat hukum tidak selalu mewakili kepentingan publik, tetapi lebih pada  kepentingan klien. Kepentingan itu dapat atau bukan berkaitan dengan kepentingan publik secara umum.
Contoh : Suatu perusahaan yang terkena dampak dari buruknya pengaturan drainase kota ingin menyelesaikan masalah tersebut dengan meminta bantuan kepada perencana kota yang lebih berkompeten untuk mengatasi hal demikian.

  1.  Perencana sebagai agen perubahan. Pendekatan ini menekankan perubahan yang radikal pada susunan kehidupan sosial ekonomi masyrakat, yang sudah mapan, sebagai suatu tujuan perencanaan  jangka panjang. Perencana dalam hal ini menginginkan perubahan karena timbulnya kejenuhan atas keadaan sekarang yang dirasakannya.
Contoh : Seorang perencana yang sudah merasa jenuh terhadap keadaan suatu wilayah yang menurutnya tidak mengalami kemajuan karena kebijakan perencanaan yang tidak sesuai. Olehnya itu perencana tersebut mengusahakan agar keadaan yang berlangsung sekarang diubah sedapat mungkin sesuai dengan yang diinginkannya.
Pengertian ”backwash effects” dan ”spread effects” terdapat dalam teori “inter” dan “intra” wilayah. Backwash effects contohnya adalah makin bertambahnya permintaan masyarakat suatu wilayah kaya atas hasil-hasil dari masyarakat miskin berupa bahan makanan pokok seperti beras yang sumbernya dari pertanian masyarakat wilayah miskin. Sementara Spread effects contohnya adalah makin berkurangnya kualitas pertanian masyarakat miskin akibat dampak negatif dari polusi yang disebabkan oleh masyarakat wilayah kaya.
Trickle down effects adalah perkembangnan meluasnya pembagian pendapatan. Teori “trickle down effects” dari pola pembangunan yang diterapkan di wilayah miskin di negara berkembang dirasa tidak berhasil memecahkan masalah pengangguran, kemiskinan dan pembagian pendapatan yang tidak merata, baik di dalam negara berkembang masing maupun antara negara maju dengan negara berkembang. Misalnya yang terjadi antara negara Indonesia (dalam hal ini dikategorikan wilayah miskin) dan negara Jepang (wilayah kaya). Indonesia merupakan salah satu pemasok bahan baku untuk Jepang, sementara kenyataan yang terjadi Jepang semakin kaya dan Indonesia semakin miskin. Maksudnya, tingkat kemiskinan di Indonesia lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan di Jepang.
 Sistem adalah satu kumpulan komponen/elemen yang bekerja bersama-sama untuk semua tujuan dari keseluruhan. Teori ”sistem” perencanaan kota dan wilayah adalah suatu proses perencanaan yang terjadi secara terstruktur dan sistematis yang berawal dari elemen-elemen penting yang jadi bahan pertimbangan (input), kemudian diproses dengan membahas hal-hal yang urgen termasuk hubungan-hubungan antara elemen-elemen tadi yang kemudian menghasilkan suatu output berupa alternatif perencanaan atau produk-produk perencanaan terhadap suatu kota dan wilayah. Proses perencanaan tentunya tidak hanya berhenti sampai di situ, dilanjutkan dengan pengawasan dan kemudian evaluasi terhadap hasil-hasil pelaksanaan produk perencanaan yang telah dibuat dan direalisasikan.
CARA PENGEMBANGAN WILAYAH
Suatu proyek pembangunan daerah dilaksanakan pada tingkat kabupaten/kota sebagai unit terrendah dalam hirarki pembangunan. Proyek terkait dengan jenisnya dan dananya. Setelah jenis dan dananya disediakan maka tahap berikutnya adalah menetapkan di bagian mana dari daerah kabupaten/kota proyek tersebut akan dilaksanakan. Ada beberapa cara untuk menetapkan proyek pembangunan. Cara penetapan proyek biasanya dilakukan, pada tahap awal, melalui suatu kajian akademis antara lain berdasarkan pendekatan geografi, pendekatan ekonomi dan lainnya.
Pendekatan geografi dilakukan melalui tahapan penetapan masalah, pengumpulan data dan analisis data mulai dari kegiatan penyaringan, pengelompokan, klasifikasi data, kegiatan pengwilayahan, korelasi dan analogi. Oleh karena adanya keragaman berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah dan skala waktu pelaksanaan, disusun skala prioritas proyek.
Hasil korelasi secara spasial (tumpang tindih atau overlay peta wilayah) dapat ditunjukan masalah apa sebagai prioritas proyek dan di mana lokasi proyek tersebut dilaksanakan. Dalam pelaksanaanya, pendekatan geografi tidaklah sesederhana itu.
Beberapa cara lain untuk menetapkan proyek pembangunan dapat disebutkan antara lain dengan menerapkan teori Economic Base, Multiplier Effect yang berkaitan dengan teori input-output dan penerapan teori lokasi,(Location Theory), teori pusat (Central Place Theory) dan penerapan teori Kutub Pengembangan (Growth Pole Theory).
  1. Teori Lokasi. Paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan lokasi proyek pembangunan yaitu (1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan pemasaran dan (3) keuntungan tertinggi.
  2. Teory Pusat Pelayanan. Pola ideal yang diharapkan terbentuk, asumsi homogin dalam hal bentuk medan, kualitas tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller menyajikan bentuk pola pelayanan seperti jejaring segi enam (hexagonal). Bentuk pola pelayanan hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam hal efisiensi transportasi, pemasaran dan administrasi (Haggett, 2001)
  3.  Teori Kutub Pertumbuhan. Berbeda dengan Christaller yang berlatar belakang ahli Geografi, teori Kutub Pertumbuhan diprakarsai dan dikembangankan oleh para ahli ekonomi. Teori ini melahirkan konsep ekonomi seperti konsep Industri Penggerak (leading industry), konsep Polarisasi dan konsep penularan (trickle atau spread effect).
Beberapa kelemahan penerapan cara cara di atas dalam penetapan proyek pembangunan dihadapkan pada factor politis pengambil kebijakan di tingkat kabupaten/kota utamanya pada era otonomi daerah saat ini, factor ketersediaan dana dan bidang tanah tempat dilaksanakannya proyek tersebut. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pendekatan geografi menjadi factor kunci dalam kegiatan penetapan proyek pembangunan berdasarkan penetapan prioritas secara tepat.
Penerapan Teori Growth Pole di Indonesia
Di Indonesia konsep growth pole juga diadopsi dalam strategi pembangunan wilayahnya. Dampaknya terbentuk megaurban pada berbagai wilayah yang sulit dibatasi, seperti Jabodetabek, Gerbangkertasusila dan lain-lain. Masalah berikutnya terjadi ketimpangan wilayah, terutama dalam hal kesejahteraan antara kota-kota utama dan wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu ada kecenderungan masyarakat untuk mendekati kawasan potensial/sumber penghidupan, yaitu menuju kota-kota utama tersebut
Dampak Penerapan Konsep Growth Pole di Indonesia
Dampak penerapan konsep growth pole lebih banyak dirasakan oleh penduduk pedesaan, hal ini mengingat harapan terjadinya trickle down effect tidak terpenuhi, bahkan terjadi backwash effect. Oleh karena itu perlu dipikirkan konsep baru yang dapat memecahkan persoalan yang diakibatkan penerapan konsep grwoth pole sekaligus meningkatkan kesejahteraan pada masa mendatang, utamanya bagi penduduk pedesaan. Dan mengingat di Indonesia, pulau Jawa sangat besar merasakan dampak dari konsep growth pole dibanding pulau-pulau lain di Indonesia, maka penerapan agropolitan pada pulau Jawa akan dibahas lebih mendalam.
Dasar pertimbangan penerapan konsep agropolitan, akan menjadi dasar mengapa konsep agropolitan sesuai digunakan untuk memecahkan permasalahan dampak konsep growth pole. Kemudian persyaratan suatu kota atau wilayah menjadi kawasan agropolitan diberikan sebagai alat penentuan pilihan kota-kota yang akan menjadi agropolitan. Berdasarkan kajian beberapa pemikir agropolitan, diusulkan konsep struktur tata ruang agropolitan, dan dikaitkan permasalahan yang terjadi di pulau Jawa, pada setiap pembahasan dilakukan kajian awal kemungkinan konsep agropolitan diterapkan di pulau Jawa.
Seperti halnya di negara asalnya dan di negara-negara lain, penerapan konsep growth pole di Indonesia juga menimbulkan dampak yang tidak dapat dihindari, seperti sentralisasi, urbanisasi dan mega urban, pengangguran di perkotaan dan pedesaan, bias perkotaan dan pro Jawa.
  1.  Sentralisasi
Sentralisasi pada sektor industri yang ada di Indonesia sebagai suatu dampak dari penerapan suatu teori Growth Pole, dampak tersebut dapat dilihat dari data PDB di Indonesia yang dibagi dalam wilayah pedesaan dan perkotaan. Apabila diasumsikan sektor primer lebih terkosenrasi pada wilayah pedesaan sedangkan untuk sektor sekunder dan tersier terkosentrasi pada wilayah perkotaan. Pada tahun 1976-1998 terjadi peningkatan pada sektor sekunder dan tersier pada PDB di Indonesia. Sehingga adanya perbedaan suatu kebutuhan pada wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan. Dimana pada wilayah perkotaan lebih besar nilai PDB dibandingkan dengan wilayah pedesaan.

  1. Urbanisasi dan Megaurban
Sentralisasi dari kegiatan industri di kutub-kutub wilayah perkotaan telah menciptakan suatu lapangan pekerjaan dan mengakibatkan banyak penduduk dari wilayah pedesaan untuk pindah ke kutub kota. Terbatasnya pekerjaan yang ada di wilayah pedesaan mengakibatkan timbulnya urbanisasi penduduk desa menuju kota. Akibat dari urbanisasi maka kota-kota yang terkosentrasi oleh kegiatan industri akan membentuk suatu wilayah yang metropolitan dan megaurban, seperti Jabotabek, Bandungraya dan sebagainya.

Ini tentunya sebagai akibat penerapan konsep growth pole yang diterapkan dalam strategi keruangan di Indonesia. Yaitu konsentrasi pertumbuhan kegiatan ekonomi pada ruang. Konsentrasi ini di satu sisi akan didapatkan efisiensi, tetapi di pihak lain bila konsentrasi semakin besar, efisiensi sebagai hasil dari trickling dowmn effect, atau penetesan kesejahteraan pada wilayah sekitarnya ternyata tidak terjadi, bahkan sebaliknya terjadi backwash effect, penyapuan sumberdaya yang ada di sekitar kutub atau pole yang ada.

Kosentrasi kegiatan tersebut dan urbanisasi atau terjadinya megaurban ternyata tidak didukung oleh penyediaan fasilitas yang cukup di wilayah perkotaan. Hal ini diakibatkan karena adanya keterbatasan pemerintah dalam fasilitas tersebut. Karena jumlah penduduk yang ada di wilayah perkotaan melebihi kapasitas suatu kota.

Pada akhirnya terjadi penurunan kualitas kehidupan di wilayah kutub (pole) maupun wilayah perkotaan, sehingga meningkatkan biaya sosial sebagai akibat diseconomy scale, seperti pencemaran air dan udara, marak pencurian dll.



  1.  Pengangguran di Perkotaan dan Pedesaan
Di perkotaan lebih didominasi oleh kegiatan industri, kegiatan tersebut memiliki kemampuan terbatas dalam menyerap tenaga kerja, sementara lapangan kerja yang ada di pedesaan sangat terbatas juga.

Banyak pengangguran di pedesaan karena diakibatkan oleh :
o         Menurunnya kualitas Sumber Daya Alam (SDA).
o         Kurangnya penghargaan terhadap hasil pertanian.
o         Kurangnya hasil produksi, yang biasanya dapat dilakukan 2 kali dalam setahun menjadi 1 kali dalam setahun. Kurangnya tingkat hasil produksi tersebut diakibatkan oleh perubahan cuaca dan pasokan air akibat berkurangrangnya mata air di pegunungan.
Dari uraian diatas mengakibatkan sulitnya masyarakat pedesaab dalam mencari alternatif pekerjaan, oleh karena itu banyak masyarakat pedesaan yang mencari alternatif baru antara lain menuju kota untuk mendapatkan pekerjaan seperti :
o Buruh bangunan.
o Buruh galian.
o Kuli dan lain-lain.
Dan bahkan masyarakat pedesaan dalam mencari alternatif pekerjaannya ke luar negeri untuk menjadi TKI

 sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar