Jumat, 04 Juni 2010

Pemahaman Kebutuhan Rumah (“Housing Needs”)

Pemahaman Kebutuhan Rumah (“Housing Needs”)

Saat membicarakan masalah perumahan, istilah “kebutuhan/needs” sering digunakan dengan pengertian yang berbeda-beda, kadang diartikan secara kuantitatif atau kualitatif. Secara kuantitatif, kebutuhan rumah dengan cepat sekali dihubungkan dengan jumlah dari rumah yang dibutuhkan. Secara kualitatif, kebutuhan rumah mempunyai maksud pada kebutuhan setiap individu terhadap sebuah tipe rumah. Robinson (1979) memberikan definisi secara kuantitatif yang dihubungkan dengan standar minimum dan kemampuan ekonominya,

Di Indonesia, masalah “kebutuhan rumah” juga selalu menunjukkan pada jumlah rumah yang harus dibangun. Perkiraan jumlah kebutuhan rumah dihitung berdasarkan pertumbuhan penduduk dan koefisien rumah yang mengalami kerusakan. Menganut metoda penilaian kondisi rumah dari Amerika , rumah dibagi dalam 3 kategori:

1. rumah permanen dengan standar baik

2. rumah semi-permanen dengan standar dan infrastruktur yang kurang namun bisa diperbaiki;

3. rumah yang tidak bisa diperbaiki (reyot).

Penelitian Struyk di Indonesia menyatakan, Pengertian secara kuantitiatif yang berhubungan dengan tipe bangunan juga sangat bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Kalau Glaeser (1985) melihat bahwa kebutuhan rumah akan lebih nyaman bila terbuat dari kayu dan kaca, dan menolak bahwa kebutuhan individu dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya penghuninya

Hardoy dan Satterthwaite (1986: 247) memberikan fokus bahwa kebutuhan individu dan keluarga mempunyai masing-masing kebutuhannya akan rumah. Bagi kaum muda yang belum menikah kebutuhan rumah lebih didasarkan pada kemungkinan untuk membayar sedikit dan menabung sisanya, hal ini berbeda bagi keluarga dengan beberapa anak yang sudah mempunyai penghasilan tetap. Sedangkan Hole (1967:117) menyatakan bahwa kebutuhan akan rumah lebih baik didasarkan pada latar belakang sosial penghuni daripada sekedar membangun.

Mangin (1964), Hole (1967), Turner (1972), Hardoy dan Satterthwaite (1986) adalah beberapa pakar perumahan yang memberikan makna terhadap kebutuhan rumah secara kualitatif daripada kuantitatif. Tabel di bawah menunjukkan bahwa definisi secara kuantitatif lebih sering dipakai sebagai penentu kebijaksanaan. Mereka melihat kebutuhan rumah sebagai sebuah barang yang harus diproduksi sesuai permintaan pasar sesuai dengan teori ekonomi yang konvensional.

Tabel 1. Macam Definisi “kebutuhan rumah” (housing needs)

Sumber

Definisi Housing Need

Turner, John F.C

(1972, 174)

kesalahan pemahaman konseptual perumahan sebagai kata benda dan mengidentifikasi nilai-nilai dan benda-benda bukan pemahaman perumahan sebagai tindakan dan melihat nilai dalam peran yang prosedur dan produk dalam kehidupan masyarakat

Scottish Housing Advisory Committee

(1972, 11)

Perumahan perlu memiliki banyak dimensi. Ini melibatkan pertimbangan jumlah rumah tangga dalam kaitannya dengan jumlah rumah. "
"... Kualitas dan kecukupan rumah dan lingkungan mereka, hubungan antara ukuran rumah dan rumah tangga, keseimbangan antara berbagai bentuk kepemilikan, lokasi, jenis dan biaya rumah yang ada, semua harus diperhitungkan.”

Watson, C.J, et al.,

(1974, 31)

Perumahan merupakan kebutuhan rumah tangga estimasi potensi di setiap tahun proyeksi, yang merupakan jumlah minimum tempat tinggal yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan penduduk masa depan yang diharapkan.”

Dolbeare, Cushing N (1976, 48, 50)

"Perumahan adalah perlu untuk memperkirakan produksi perumahan. Sebagai penduduk telah tumbuh, begitu juga kebutuhan perumahan. "

Tabel 1. Macam Definisi “kebutuhan rumah”(housing needs) (lanjutan)

Sumber

Definisi Housing Need

Lemer, Andrew C. (1981, 387)

"Perumahan merupakan kebutuhan jumlah unit hunian yang diperlukan untuk mengakomodasi semua rumah tangga di beberapa standar tertentu."

Prasong Eiam-anant (1982:141)

Kebutuhan perumahan berasal dari banyak faktor. Untuk menganalisis perumahan lebih terinci, orang harus memecah kebutuhan perumahan ke fisik, komponen ekonomi dan sosial. "

Nasayao, Delia P. (1983, 10)

“Perumahan merupakan kebutuhan jumlah unit hunian yang akan dibangun atau diperbaiki untuk memberikan unit terpisah rumah tangga dengan kualitas yang dapat diterima. "

Robert R Nathan Associates, Inc. (1984, 8)

“kebutuhan perumahan fisik yang diproyeksikan untuk jumlah unit hunian baru yang dibutuhkan untuk memenuhi pertumbuhan penduduk, jumlah unit upgradeable, jumlah unit substandar yang dapat diupgrade dan karenanya tidak memerlukan penggantian, dan jumlah unit hunian tambahan yang dibutuhkan untuk mengurangi kepadatan penduduk. "

Joan Ash

(1985, 27, 29-38)

"Perlu mengacu perumahan kuantitatif jumlah tempat tinggal yang dibutuhkan oleh rumah tangga."
"Kebutuhan perumahan kualitatif mengacu pada standar ruang, jenis rumah tangga."

Ahmad, Kausar Bashir

(1991, 157)

Perumahan kebutuhan harus dipertimbangkan sehubungan dengan kebutuhan dasar dan kebutuhan budaya

Mathur, G.C

(1993, 3)

Perlu Perumahan adalah jumlah unit yang diperkirakan dengan jumlah rumah tangga baru, penggantian dan backlog."

Laveratt & Nash (1995:39)

Konsep kebutuhan perumahan adalah diinvestasikan dengan sejumlah politik, makna emosional dan sosial. Selain itu, bukan konsep statis.

[1]

Permasalahan Akan Kebutuhan Rumah

Sudah merupakan kegiatan tipikal, di setiap negara, pemerintah selalu mempersiapkan rumah yang siap pakai untuk masyarakat yang tidak mampu membeli rumah yang disediakan oleh pasar perumahan. Sehingga dasar pertimbangan pemerintah selalu berdasarkan pada kemampuan ekonomi yaitu masyarakat berpenghasilan rendah dan kemampuan finansialnya. Walaupun sulit untuk mengatakan bahwa pembangunan perumahan tidak harus hanya didasarkan pada kemampuan ekonomi, tetapi melihat beberapa perumahan menengah ke bawah yang kosong, maka perumahan seharusnya tidak hanya berdasarkan pada tingkatan ekonomi saja tetapi juga pada karakteristik penghuninya. (Michelson dalam studinya di Amerika)

Solusi yang ideal untuk menunjang percepatan pembangunan perumahan rakyat yang berketanjutan antara lain dengan mengoptimalkan peranan dari beberapa pihak yaitu Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah (selaku regulator), Pengembang (setaku pelaksana pembangunan perumahan) dan Institusi terkait, seperti Lembaga keuangan khususnya perbankan dalam mendukung aspek pembiayaannya dan institusi lainnya sepertil PLN, PDAM, Telkom, Jamsostek, Taspen, YKPP sebagai pendukung pembangunan perumahan.

Salah satu alternatif untuk memecahkan kebutuhan hunian di perkotaan adalah dengan mengembangkan model hunian secara vertikal berupa bangunan rumah susun yang untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah adalah dalam bentuk rumah susun sederhana baik dalam skim rumah susun sewa (rusunawa) maupun rumah susun milik (rusunami).

Pendanaan atau Pembiayaan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan perumahan berkelanjutan termasuk pengembangan rumah susun. Pembiayaan perumahan maupun rumah susun ini meliputi antara lain pembiayaan untuk pembangunannya (tanah, perizinan & perencanaan, infrastruktur, bangunan) dan penyediaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bagi masyarakat (konsumen).

Ketersediaan fasilitas KPR sangatlah diperlukan, hal ini mengingat bahwa kemampuan ekonomi masyarakat untuk membeli/memiliki rumah termasuk rumah susun secara kontan "cash" masih rendah. KPR adalah jenis kredit yang sifatnya jangka panjang, untuk itu bank pemberi KPR harus mempunyai dana yang sifatnya jangka panjang dan Stabil. Kondisi ini merupakan permasalahan tersendiri bagi bank pemberi KPR yang secara teknis perbankan disebut maturity mismatch dan harus dicarikan solusinya, karena di pasar belum tersedia dana yang sama panjang jangka waktunya dengan jangka waktu KPR yang diberikan.

Program Pembiayaan KPR Bersubsidi

Untuk dapat membantu memenuhi kebutuhan akan perumahan sederhana layak huni dan terjangkau oleh masyarakat, terutama golongan bawah, maka Pemerintah melaksanakan program bantuan perumahan dalam bentuk KPR bersubsidi yang dimulai sejak tahun 1976.

Permasalahan Pembiayaan Perumahan

Pertumbuhan KPR yang pesat di satu pihak menciptakan peluang bagi dunia perbankan untuk membiayannya. Namun di lain pihak juga dapat mengakibatkan ancaman apabila terus memperbesar komposisi kredit yang berkaitan dengan perumahan yang berjangka panjang di dalam portofolio asetnya.
Ancaman ini pada dasarnya disebabkan oleh sebagian besar komposisi portofolio sumber dana yang diperoleh industri perbankan di Indonesia untuk membiayai KPR saat ini yaitu berasal dari dana pihak ketiga yang berjangka waktu pendek dan relatif berfluktuasi tingkat bunganya.

Dengan berdirinya Lembaga Secondary Mortgage Facility (SMF) yang menyelenggarakan kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada Kreditor Asal (Bank) dengan melakukan sekuritisasi (transformasi aset yang tidak likuid menjadi likuid dengan cara pembelian Aset Keuangan dari Kreditur Asal dan penerbitan Efek Beragun Aset), diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam pembiayaan perumahan sehingga peranan bank dalam pembiayaan perumahan termasuk rumah susun dapat semakin meningkat.

Permasalahan Pembiayaan Rumah Susun Sederhana (Rusuna)

Terbatasnya lahan dan tingginya harga tanah di pusat kota sehingga pembangunan rusuna sangat sulit dilakukan di kota kota besar. Biaya pembangunan rumah susun sangat besar yaitu 3 (tiga) kali biaya pembangunan rumah biasa. Akibat tingginya harga lahan dan mahalnya biaya pembangunan rumah susun sehingga harga rumah susun menjadi sangat mahal dan makin tidak terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah yang menjadi konsumennya /sasaran rumah susur. Konsumen lebih cenderung untuk membeli Rumah Sederhana dengan pertimbangan harga yang terjangkau dan masih mungkin untuk rumah tumbuh sekalipun jaraknya jauh dari tempat kerja mereka.

Bagi yang belum mampu untuk membeli rumah mereka cenderung untuk kost/sewa di dekat tempat kerja. Proses perijinan/IMB khusus untuk pembangunan rusur, masih melalui prosedur yang relatif sulit. Belum jelasnya ketentuan aspek perencanaan ruang yang meliputi rencana detail tata ruang kota, revaluasi batasan ketinggian bangunan, pembenahan pola dan sistem transportasi publik, perancangan dan pembangunan rusun jarak rusun dengan transportasi publik, fasilitas umum dan sosial, dan ketersediaan jaringan air minum dan BBM yang relatif murah. Belum optimalnya insentif yang memadai bagi pengembang untuk membangun rumah susun sehingga lebih memilih investasi portfolio yang memberikan nilai imbal lebih tinggi.

Peranan Bank BTN dalam Penyediaan Pembiayaan Perumahan

Sejarah perjalanan Bank BTN yang panjang berawal dari lembaga yang bernama “Postspaarbank” didirikan tahun 1897 pada masa pendudukan Belanda. Setelah melalui perjalanan yang panjang di tahun 1963 nama Bank Tabungan Negara mulai diundangkan melalui lembaran negara. Kiprah Bank BTN dalam pemberian kredit perumahan khususnya perumahah sederhana dimulai sejak 1976, sewaktu Bank BTN ditunjuk oleh Pemerintah sebagai penyalur KPR bersubsidi. Sejak tahun 1976 sampai saat ini (per 15 Juli 2007), KPR bersubsidi yang berhasil disalurkan oleh Bank BTN telah mencapai lebih dari 1,88 juta unit dengan nilai lebilh dari Rp18,53 trilyun.

Seiring dengan perkembangan jaman, sejak tahun 1990 Bank BTN juga menyalurkan Kredit perumahan perorangan dengan bunga komersial dan kredit lain yang masih terkait dengan perumahan, antara lain Kredit Griya Utama/KGU (KPR nonsubsidi), Kredit Griya Multi/KGM, dan lainnya. Dari tahun 1990 sampai saat ini tanggai 15 Juli 2007, kredit perumahan perorangan komersial yang berhasil disalurkan oleh Bank BTN telah mencapai lebih dari Rp17,44 trilyun, untuk sekitar 623 ribu debitur.

Visi Bank BTN adalah Menjadi bank yang terkemuka dalam pembiayaan perumahan dan mengutamakan kepuasan nasabah. Dan sebagai komitmen untuk dapat mewujudkan visi tersebut, Bank BTN dalam menetapkan rencana pemberian kredit Tahun Anggaran 2007 (belum termasuk syariah) memberikan porsi terbesar untuk kredit perumahan dan pendukung perumahan, yakni Rp 6,92 trilyun (93.53% dari total rencana Rp7,40 trilyun).

Disamping menyediakan kredit yang sifatnya terkait secara langsung dengan industri perumahan yaitu KPR dan kredit konstruksi, Bank BTN juga menyediakan kredit yang diperuntukkan bagi industri industri yang terkait dengan industri perumahan (housing related), yaitu Kredit Pendukung Perumahan (KPP). KPP ini dapat diberikan dalam skim kredit investasi maupun modal kerja kepada pengusaha yang bergerak di bidang yang terkait dengan perumahan (misalnya: industri genteng, batu bata, batako, semen, penggalian pasir, kayu, dll), baik industrinya maupun perdagangannya.

Peranan Bank BTN dalam Penyediaan Pembiayaan Rumah Susun

Secara umum Bank BTN tetap mempunyai komitmen dan kepedulian yang tinggi untuk mensukseskan Program Pemerintah khususnya dalam bidang perumahan termasuk rumah susun, baik pembiayaan untuk pembangunan rumah susun maupun kepemilikan rumah susun, asal calon debitur (pengembang dan konsumen) memenuhi persyaratan dan ketentuan teknis perbankan.

Selama ini Bank BTN telah berperan dalam pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah Susun untuk beberapa lokasi antara lain Rusun Kebon Kacang Tanah Abang Jakarta, Rusun Kemayoran Jakarta, Rusun Klender Jakarta, Rusun Ilir Barat Palembang dan beberapa rusun lainnya di Indonesia.[2]

Definisi Perumahan Dan Rumah

Definisi Perumahan Dan Rumah

Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan yaitu kelengkapan dasar fisik lingkungan, misalnya penyediaan air minum, pembuangan sampah, tersedianya listrik, telepon, jalan, yang memungkinkan lingkungan pemukiman berfungsi sebagaimana mestinya.
Rumah adalah tempat untuk melepaskan lelah, tempat bergaul, dan membina rasa kekeluargaan diantara anggota keluarga, tempat berlindung keluarga dan menyimpan barang berharga, dan rumah juga sebagai status lambing social (Azwar, 1996; Mukono,2000)
Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan, halaman dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga (UU RI No. 4 Tahun 1992).
Menurut WHO, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik untuk kesehatan kelu arga dan individu (Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001).

Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat apabila : (1) Memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari udara di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan kebisingan 45-55 dB.A.; (2) Memenuhi kebutuhan kejiwaan; (3) Melindungi penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan; serta (4) Melindungi penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran, seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu lintas (Sanropie, 1992; Azwar, 1996).

Pengertian Perumahan dan Permukiman

Berdasarkan Undang-undang No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, terdapat beberapa pengertian dasar, yaitu;

  • Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.
  • Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempal tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
  • Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
  • Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur.
  • Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
  • Rumah sebagai bangunan merupakan bagian dari suatu Permukiman yang utuh, dan tidak semata-mata merupakan tempat bernaung untuk melindungi diri dari segala bahaya, gangguan, dan pengaruh fisik belaka, melainkan juga merupakan tempat tinggal, tempat beristirahat setelah menjalani perjuangan hidup sehari-hari. (C. Djemabut Blaang, Perumahan dan Permukiman, 1986: 28),
  • Permukiman adalah satuan kawasan perumahan lengkap dengan prasarana lingkungan, prasarana umum, dan fasilitas sosial yang mengandung keterpaduan kepentingan dan keselarasan pemanfaatan sebagai lingkungan kehidupan.
  • Perumahan dan pemukiman merupakan kesatuan fungsional, sebab pembangunan perumahan harus berlandaskan suatu pola pemukiman yang menyeluruh, yaitu tidak hanya meliputi pembangunan fisik rumah saja, melainkan juga dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana umum dan fasilitas sosial, terutama di daerah perkotaan yang mempunyai permasalahan majemuk dan multidimensional.

Menurut Suparno Sastra M. dan Endi Marlina, (Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, 2006:29) pengertian mengenai perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.

Sedangkan permukiman menurut Suparno Sastra M. dan Endi Marlina, (Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, 2006:37), adalah suatu tempat bermukim manusia untuk menunjukkan suatu tujuan tertentu. Apabila dikaji dari segi makna, permukiman berasal dari terjemahan kata settlements yang mengandung pengertian suatu proses bermukim. permukiman memiliki 2 arti yang berbeda yaitu:

  1. Isi. Yaitu menunjuk pada manusia sebagai penghuni maupun masyarakat di lingkungan sekitarnya.
  2. Wadah. Yaitu menunjuk pada fisik hunian yang terdiri dari alam dan elemen-elemen buatan manusia.

Elemen permukiman

Permukiman terbentuk atas kesatuan antara manusia dan lingkungan sdi sekitarnya. Permukiman merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa elemen yaitu (Suparno Sastra M. dan Endi Marlina, Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, 2006:39):

  1. Alam.
  2. Manusia. Di dalam suatu wilayah permukiman, manusia merupakan pelaku utama kehidupan, disamping makhluk hidup seperti hewan, tumbuhan dan lainnya. sebagai makhluk yang paling sempurna, dalam kehidupannya manusia membutuhkan berbagai hal yang dapat menunjang kelangsungan hidupnya, baik itu kebutuhan biologis (ruang, udara, temperatur, dan lain-lain), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional dan kebutuhan akan nilai-nilai moral.
  3. Masyarakat. Masyarakat merupakan kesatuan kelompok orang (keluarga) dalam suatu permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang mendiami suatu wilayah permukiman adalah:
    1. Kepadatan dan komposisi penduduk
    2. Kelompok sosial
    3. Adat dan kebudayaan
    4. Pengembangan ekonomi
    5. Pendidikan
    6. Kesehatan
    7. Hukum dan administrasi
  4. Bangunan atau rumah. Bangunan atau rumah merupakan wadah bagi manusia. Pada prinsipnya bangunan yang dapat digunakan sepanjang operasional kehidupan manusia bisa dikategorikan sesuai dengan fungsi masing-masing, yaitu:
    1. Rumah pelayanan masyarakat (sekolah, rumah sakit, dan lain-lain)
    2. Fasilitas rekreasi atau hiburan
    3. Pusat perbelanjaan
    4. Industri
    5. Pusat transportasi
  5. Networks. Networks merupakan sistem buatan maupun alami yang menyediakan fasilitas untuk operasional suatu wilayah permukiman. Untuk sistem buatan, tingkat pemenuhannya bersifat relatif, dimana antara wilayah permukimansatu dengan yang lainnya tidak sama. Sistem buatan yang yang keberadaannya diperlukan dalam suatu wilayah antara lain:
    1. Sistem jaringan air bersih
    2. Sistem jaringan listrik
    3. Sistem transportasi
    4. Sistem komunikasi
    5. Drainase dan air kotor
    6. Tata letak fisik

Tipe dan Jenis Rumah

Kriteria rumah berdasarkan konstruksinya dibedakan menjadi :

Tabel 1.

Kriteria Rumah Berdasar Konstruksi

Kriteria

Permanen

Semi Permanen

Non Permanen

Pondasi

Ada

Ada

Tidak

Dinding

Batu-bata/ batako

Setengah tembok & setengah kayu/ bambu

Bambu/ kayu

Atap

Genteng

Genteng

Genteng/ selain genteng

Lantai

Plester/ keramik

Plester/ keramik

Tanah

Jika dilihat berdasarkan ukuranya, standar perbandingan jumlah rumah besar, rumah sedang dan rumah kecil yaitu 1:3:6

  • Luas kapling rumah besar : 120 m² – 600 m² (tipe 70)
  • Luas kapling rumah sedang : 70 m² – 100 m² (tipe 45-54)
  • Luas kapling rumah kecil : 21 m² – 54 m² (tipe 21-36)

Untuk menentukan luas minimum rata-rata dari perpetakan tanah harus mempertimbangkan faktor-faktor kehidupan manusianya, faktor alamnya dan pengaturan bangunan setempat.

Kondisi Fisik Bangunan

Berdasarkan kondisi fisik bangunannya, rumah di Kelurahan Bandulan dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:

  1. Rumah permanen, memiliki ciri dinding bangunannya dari tembok, berlantai semen atau keramik, dan atapnya berbahan genteng.
  2. Rumah semi-permanen, memiliki ciri dindingnya setengah tembok dan setengah bambu, atapnya terbuat dari genteng maupun seng atau asbes, banyak dijumpai pada gang-gang kecil.
  3. Rumah non-permanen, ciri rumahnya berdinding kayu, bambu atau gedek, dan tidak berlantai (lantai tanah), atap rumahnya dari seng maupun asbes.

contoh rumah permanen (rumah di Jalan Gambir Kota Yogyakarta)

Status Kepemilikan Tanah

Menurut UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak atas tanah dapat dimiliki oleh orang baik individu, kelompok maupun badan hukum. Hak-hak tersebut dapat dipergunakan untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan. Adapun macam-macam hak atas tanah antara lain:

  • hak milik

Hak milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain.

· hak guna-usaha

Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, hak ini terjadi karena ketetapan pemerintah dimana memiliki jangka waktu tertentu.

  • hak guna-bangunan

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu.

  • hak pakai

hak pakai adalah hak untuk menggunakan atau menggunakan hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain.

  • hak sewa

hak sewa adalah hak untuk menggunakan atau menggunakan hasil dari tanah orang lain yang telah disewa.

Persyaratan Perumahan dan Permukiman

Suatu perumahan dan pemukiman memiliki suatu persyaratan dasar sebelum didirikan, diantaranya :

Persyaratan Dasar Perumahan

Menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan lokasi lingkungan perumahan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. Lokasi perumahan harus sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen perencanaan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah setempat, dengan kriteria sebagai berikut:
    1. Kriteria keamanan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut bukan merupakan kawasan lindung (catchment area), olahan pertanian, hutan produksi, daerah buangan limbah pabrik, daerah bebas bangunan pada area Bandara, daerah dibawah jaringan listrik tegangan tinggi;
    2. Kriteria kesehatan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut bukan daerah yang mempunyai pencemaran udara di atas ambang batas, pencemaran air permukaan dan air tanah dalam;
    3. Kriteria kenyamanan, dicapai dengan kemudahan pencapaian (aksesibilitas), kemudahan berkomunikasi (internal/eksternal, langsung atau tidak langsung), kemudahan berkegiatan (prasarana dan sarana lingkungan tersedia);
    4. Kriteria keindahan/ keserasian/ keteraturan (kompatibilitas), dicapai dengan penghijauan, mempertahankan karakteristik topografi dan lingkungan yang ada, misalnya tidak meratakan bukit, mengurug seluruh rawa atau danau/ setu/ sungai/ kali dan sebagainya;
    5. Kriteria fleksibilitas, dicapai dengan mempertimbangkan kemungkinan pertumbuhan fisik/ pemekaran lingkungan perumahan dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana;
    6. Kriteria keterjangkauan jarak, dicapai dengan mempertimbangkan jarak pencapaian ideal kemampuan orang berjalan kaki sebagai pengguna lingkungan terhadap penempatan sarana dan prasarana-utilitas lingkungan; dan
    7. Kriteria lingkungan berjati diri, dicapai dengan mempertimbangkan keterkaitan dengan karakter sosial budaya masyarakat setempat, terutama aspek kontekstual terhadap lingkungan tradisional/ lokal setempat.
    8. Lokasi perencanaan perumahan harus berada pada lahan yang jelas status kepemilikannya, dan memenuhi persyaratan administratif, teknis dan ekologis.

Keterpaduan antara tatanan kegiatan dan alam di sekelilingnya, dengan mempertimbangkan jenis, masa tumbuh dan usia yang dicapai, serta pengaruhnya terhadap lingkungan, bagi tumbuhan yang ada dan mungkin tumbuh di kawasan yang dimaksud.

Persyaratan Dasar Permukiman

Suatu bentuk permukiman yang ideal di kota merupakan pertanyaan yang menghendaki jawaban yang bersifat komprehensif, sebab perumahan dan permukiman menyangkut kehidupan manusia termasuk kebutuhan manusia yang terdiri dari berbagai aspek. Sehingga dapat dirumuskan secara sederhana tentang ketentuan yang baik untuk suatu permukiman yaitu harus memenuhi sebagai berikut:

  1. Lokasinya sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh kegiatan lain seperti pabrik, yang umumnya dapat memberikan dampak pada pencemaran udara atau pencemaran lingkungan lainnya.
  2. Mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan lain-lain.
  3. Mempunyai fasilitas drainase, yang dapat mengalirkan air hujan dengan cepat dan tidak sampai menimbulkan genangan air walaupun hujan yang lebat sekalipun.
  4. Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa jaringan distribusi yang siap untuk disalurkan ke masing-masing rumah.
  5. Dilengkapi dengan fasilitas air kotor/ tinja yang dapat dibuat dengan sistem individual yaitu tanki septik dan lapangan rembesan, ataupun tanki septik komunal.
  6. Permukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan sampah secara teratur agar lingkungan permukiman tetap nyaman.
  7. Dilengkapi dengan fasilitas umum seperti taman bermain bagi anak-anak, lapangan atau taman, tempat beribadat, pendidikan dan kesehatan sesuai dengan skala besarnya permukiman itu.
  8. Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon

Sumber :

http://lovescokelat.wordpress.com/2009/12/24/sedikit-teori-tentang-perumahan/

Jumat, 26 Maret 2010

teori perencanaan

UNSUR-UNSUR DALAM PERENCANAAN
Perencanaan kota merupakan suatu pemikiran rasional dan kegiatan implementatif untuk mengakomodasi kebutuhan baru di masa datang. Hal ini dimaksudkan untuk memprediksi perkembangankota dengan melihat karakteristik lokal dan regional. Sehingga informasi yang up to date menjadi tuntutan proses perencanaan.
Pemikiran rasional dalam perencanaan merupakan proses identifikasi potensi, kendala, permasalahan, kecenderungan perkembangan, dan keterkaitannya dengan kota-kota lain disekitarnya dalam suatu konstelasi regional. Sedangkan kegiatan implementatif merupakan suatu kegiatan pelaksanaan rencana dalam bentuk program-program pembangunan. Sehingga, kebutuhankota di masa depan dapat dimanifestasikan dalam bentuk fisik dan non fisik berupa sosial budaya, sosial ekonomi, politik yang diwujudkan dalam rencana-rencana pembangunan kota. Produk rencana tersebut berupa rencana tata ruang yang berdimensi pada dimensi waktu pelaksanaan. Oleh karena itu perencanaan kota harus mencerminkan kondisi yang berkesinambungan. Hal ini karena dalam proses pelaksanaannya penyusunan dokumen perencanaan tidak akan lepas dari kecenderungan perkembangan eksisting kota dan arahan pembangunan dari dokumen perencanaan di atasnya. Data yang aktual menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan perencanaan. data merupakan suatu refleksi kondisi eksisting wilayah/ kota berupa "modal" awal pengidentifikasian kondisi serta penyelarasan perencanaan dengan karakteristik lokalnya.

Sistem Informasi yang Dinamis
Sistem informasi merupakan alat (tools) sebagai media penyaji dan analisator yang sangat bermanfaat pada proses perencanaan. Sistem yang dinamis menjadi tuntutan penyajian data. karena pada dasarnya data-data yang dibutuhkan pada proses perencanaan wilayah dan kota bersifat dinamis dan berubah dipengaruhi oleh kondisi masyarakat dan kondisi fisik lingkungannya. Penguasaan para perencana terhadap sistem informasiyang dinamis merupakan modal awal profesionalisme perencana. Menjadi satu hal yang harus dipenuhi oleh setiap perencana untuk dapat menguasai serta mengaplikasikan sistem informasi yang dinamis.
Hal itu diwujudkan dalam sebuah sistem informasi perencanaan yang termuat dalam data base yang dapat diakses secara mudah via internet maupun intranet. Disamping itu instalasi wireless menjadi salah satu pendukung potensial kemudahan akses data base. Hal tersebut juga didukung oleh instalasi software-software pemetaan serta sistem informasi perencaan yang terintegrasi pada setiap komputer di laboratorium, perpustakaan, maupun di administrasi.
Secara umum, jenis data untuk perencanaan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu data spasial (keruangan) dan nonspasial. Dalam hal manajemennya, kedua kelompok data tersebut juga harus dikelola secara berbeda, yaitu data fisik bersifat statis, sedangkan data sosial-ekonomi bersifat dinamis dan harus selalu di-update.Dari sisi substansi pembangunan ekonomi, data perencanaan pembangunan juga dapat dilihat dari sudut suplai (ketersediaan) dan demand (kebutuhan). Dengan melihat dari kedua sisi tersebut diharapkan kedua aspek penting pembangunan dapat terangkum.

Transformasi
Proses perubahan yang sistematis dari informasi empiris menjadi rencana. Dengan menganalisisnya menjadi sebuah pedoman atau instruksi yang berupa rencana. Sejumlah metode telah dikembangkan dalam menganalisis setiap informasi untuk membandingkan secara sistematis setiap alternatif untuk dapat memilihsalah satu yang terbaik. Misalnya metode yang paling mudah dan paling sering digunakan adalah metode SWOT.
Analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (strengths, weaknesses, opportunities and threats/SWOT) adalah perangkat analisisyang paling populer, terutama untuk kepentingan perumusan strategi. Asumsi dasar yang melandasi adalah organisasi harus menyelaraskan aktivitas internalnya dengan realitas eksternal agar dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Peluang tidak akan berarti manakala perusahaan tidak mampu memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk memanfaatkan peluang tersebut.
Kemampuan analisis SWOT bertahan sebagai alat perencanaan yang masih terus digunakan sampai saat ini, membuktikan kehebatan analisis ini di mata para manajer. Analisis SWOT telah lama menjadi kerangka kerja pilihan bagi banyak manajer, karena kesederhanaannya,proses penyajiannya, serta dianggap dapat merefleksikan esensi dari suatu penyusunan strategi, yaitu mempertautkan peluang dan ancaman dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.
Namun, analisis SWOT adalah sebuah pendekatan konseptual yang luas, yang menjadikannya rentan terhadap beberapa keterbatasan. Pearce dan Robinson mengungkapkan beberapa keterbatasan analisis SWOT ini.
Pertama, analisis SWOT berpotensi untuk terlalu banyak memberikan penekanan pada kekuatan internal dan kurang memberikan perhatian pada ancaman eksternal. Dalam hal ini, perencana strategi di perusahaan di samping harus menyadari kekuatanyang dimiliki pada saat ini, juga harus menyadari pengaruh lingkungan eksternal terhadap kekuatan yang sekarang dimiliki tersebut. Perubahan lingkungan yang sangat cepat dapat menjadikan kekuatan yang sekarang dimiliki menjadi tidak bermakna, bahkan bisa berubah menjadi kelemahan yang menghambat kemajuan perusahaan.

Mengabaikan perubahan
Kedua, analisis SWOT dapat menjadi sesuatu yang bersifat statis dan berisiko mengabaikan perubahan situasi dan lingkungan yang dinamis. Hal ini sama dengan apa yang terjadi pada proses perencanaan. Kritik yang sering muncul terhadap suatu perencanaan adalah bahwa perencanaan ini hanya berhenti di atas kertas, namun miskin implementasi.Salah satu penyebabnya adalah lingkungan yang berubah sangat cepat, sehingga asumsi yang digunakan sebagai dasar dalam proses perencanaan menjadi tidak valid.
Karena analisis SWOT sering digunakan dalam proses perencanaan, tidaklah mengherankan bila analisis ini mendapat kritik dalam hal ketidakmampuannya memberikan respons yang cepat terhadap perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, analisis SWOT tidak boleh bersifat statis dan tidak boleh mengabaikan kemungkinan terjadinya perubahan,yang pasti terjadi. Perlu diingat bahwa analisis SWOT merepresentasikan sebuah pandangan yang khusus hanya pada satu titik waktu tertentu. Oleh karenanya elemen yang ada dalam analisis SWOT harus dikaji dan dievaluasi secara berkala.
Ketiga, analisis SWOT berpotensi terlalu memberikan penekanan hanya pada satu kekuatan atau elemen dari strategi. Padahal, kekuatan yang ditekankan tersebut belum tentu mampu menutupi kelemahan yang dimiliki, serta belum tentu mampu menghadapi berbagai ancaman yang muncul. Sebuah organisasi harus senantiasa menggali berbagai macam sumber daya yang mungkin memiliki potensi menjadi sumber kekuatan organisasi.
Keterbatasan lain dari analisis SWOT ini adalah kecenderungannya untuk terlalu menyederhanakan situasi dengan mengklasifikasikan faktor lingkungan perusahaan ke dalam kategori yang tidak selalu tepat. Klasifikasi sebuah faktor sebagai kekuatan atau kelemahan, atau sebagai kekuatan atau ancaman, sering ditentukan berdasarkan penilaian yang kurang tepat.
Sebagai contoh, budaya tertentu dari sebuah perusahaan dapat merupakan kekuatan atau kelemahan. Demikian pula perubahan teknologi, dapat merupakan ancaman, namun dapat pula dianggap sebagai peluang. Mungkinyang lebih penting adalah munculnya kesadaran perusahaan terhadap faktor lingkungan ini serta memanfaatkannya sehingga perusahaan dapat mengambil keuntungan semaksimal mungkin.
Keterbatasan lainnya berkaitan dengan subjektivitas. Mintzberg mengatakan bahwa boleh jadi penilaian mengenai kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh organisasi tidak dapat diandalkan (unreliable) dan bias.
Dalam beberapa kasus, faktor yang menentukan kekuatan dan kelemahan, peluang maupun ancaman yang dimiliki sebuah organisasi ditentukan oleh orang-orang yang terlalu dekat atau terlalu jauh dengan aktivitas aktual perusahaan. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan strategi yang merugikan perusahaan.
Berbagai keterbatasan analisis SWOT seperti yang telah diuraikan di atas bukan berarti SWOT tidak bisa lagi digunakan. Justru keterbatasan ini dapat menjadi panduan dan pelajaran bagi perusahaan agar dapat memanfaatkan analisis SWOT dengan tepat, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan perusahaan. Seperti halnya alat analisis yang lain, kegunaan analisis SWOT ini secara langsung berhubungan dengan kesesuaian (appropriateness) aplikasi, serta keterampilan mereka yang menggunakannya.

Pedoman atau instruksi (rencana)
Hasil suatu transformasi yang berbentuk pedoman atau instruksi (rencana). Rencana adalah setiap proses hierarkhis dalam organisme yang dapat mengendalikan urutan tahap pelaksanaan kegiatan-kegiatan.

Perencanaan didukung Ilmu Pengetahuan
Ketika perencanaan dipandang sebagai sebuah alat dan metode dalam pengambilan keputusan dan tindakan publik, maka sudah sewajarnya dipahami akan adanya dimensi politik dalam perencanaan. Dimensi politik dalam perumusan kebijakan publik merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan dari proses perencanaan sebagai sebuah tindakan yang rasional dan ilmiah. Perbedaan dalam proses perencanaan yang teknokratis dengan perencanaan yang demokratis sangat jelas terlihat dan mempengaruhi perencana untuk masing-masing konteks.
Dalam konteks politik, perencanaan didominasi oleh para pemain yang berkepentingan dengan tingkat pengaruh yang berbeda agar kepentingannya dimasukkan dalam agenda perencanaan. Para pemain inilah yang mendominasi proses perumusan kebijakan yang terjadi. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Robert Dahl (1960) di New Haven menyimpulkan bahwa terdapat 1% kelompok masyarakat di Amerika Serikat yang mengontrol lebih dari 25% kesejahteraan di AS secara umum. Vilfredo Pareto (dalam Djatmoko 2004) menyatakan bahwa dalam sebuah masyarakat konsentrasi kekuasaan hanya berputar pada 20% kelompok masyarakat yang menguasai 80% kelompok yang lain. Secara sederhana, 20% masyarakat tersebut mengendalikan atau mengeksploitasi 80% yang lain.
Conyers(1981) mengungkapkan bahwa pada dasarnya perencanaan tidak lain merupakan sebuah proses politik yang menimbulkan adanya persaingan antar kelompok. Dimensi politik dalam proses pengambilan keputusan publik akan selalu terkait erat dengan sebuah proses pengaruh dalam pengambilan keputusan. Menurut Christian Bay arena politik bukan hanya studi yang terkait dengan bentuk kenegaraan, tetapi termasuk pula proses mensejahterakan manusia dan kemaslahatan masyarakat. Dimana kedua proses tersebut di fokuskan kepada perbaikan individu-individu yang terpinggirkan dalam dunia publik.
Paradigma yang ada saat ini adalah proses perencanaan sebagai sebuah proses teknokratis dan rasional, sehingga menafikkan keberadaan dimensi politik sebagai elemen yang secara signifikan mempengaruhi proses dan hasil perencanaan. Perencanaan dipersepsikan menjadi sebagai alat pengambilan keputusan yang bebas nilai dan tidak ada urusannya dengan kepentingan dan proses politik yang dilakukan oleh para politikus dan pengambil keputusan. Paradigma seperti ini melihat politik sebagai elemen bebas yang menganggu keseimbangan dalam proses perencanaan yang terjadi. Politik dianggap elemen radikal bebas yang irasional dan kontraproduktif terhadap proses perencanaan yang teknokratis dan rasional. Paradigma rasionalistik sangat menekankan peran perencanaan sebagai sebuah proses yang rasional dan mekanis, sehingga produk perencanaan memiliki posisi yang sangat signifikan dalam mentransformasi masyarakat. Rasionalitas yang dimaksud disini identik dengan technical rationality, bagian dari tiga rasonalitas yang dikemukakan oleh Goulet. Paradigma ini menempatkan masyarakat sebagai objek rekayasa dan politik sebagai sebuah elemen irasional dan varian yang harus dihindari.
Perencana selama ini dibuai dengan sebuah anggapan bahwa perencanaan dan perencana adalah sebuah elemen bebas nilai dan kepentingan, sehingga prosedur legal dan kajian yang didasarkan pada sebuah rasionalitas merupakan amunisi utama perencana dalam melakukan perencanaan, Posisi ini menempatkan perencana sebagai penasehat utama para pengambil keputusan dengan kepercayaan diri yang sangat besar. Pendekatan yang konvensional terhadap proses perencanaan yang mengutamakan proses penyusunan dokumen semata untuk jangka waktu tertentu tanpa melibatkan peran masyarakat akan memberikan keleluasaan kepada para politisi dengan membekali mereka sebuah buku ajaib guna merasuk dalam pertemuan politik atau konsultasi dengan para donor.
Perencana tidak jarang menyerahkan ”nasib” hasil perencanaan yang dihasilkan kepada para politis tanpa ada sebuah tindakan untuk mengawal dalam kerangkan mempertahankan tujuan dari perencanaan. Perencana selalu berlindung kepada anggapan ”kalau sudah bersentuhan dengan politik, itu bukan urusan kami lagi”. Sehingga, bias antara tujuan perencaaan dengan produk perencanaan setelah melewati proses politik bisa sangat jauh berbeda.
Demokratisasi yang terjadi di Indonesia membawa sebuah perubahan besar dalam paradigma perencanaan di Indonesia. Perencanaan yang pada awalnya sebuah proses teknis ekonomis yang berasal dari rejim penguasa bergeser menjadi sebuah proses partisipasi yang menuntut pelibatan serta akses yang sama dalam melakukan intervensi untuk memutuskan sebuah kebijakan yang terkait dengan kepentingan publik. Lembaga perencana berubah dari sebuah lembaga teknokrat yang tertutup menjadi sebuah lembaga publik yang harus membuka kesempatan yang sama untuk publik dalam melakukan intervensi.
Reformasi di Indonesia menyebabkan ruang demokrasi makin terbuka luas sehingga tuntutan untuk lebih melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan semakin besar dan diikuti oleh gugatan terhadap posisi hegemonik pemerintah dalam perumusan kebijakan. Dalam kondisi seperti ini, posisi dimensi politik dalam sebuah perumusan kebijakan publik menjadi sangat signifikan. Pemerintah maupun kelompok masyarakat memanfaatkan arena politik sebagai sebuah upaya mengintervensi hasil perencanaan.
Pendekatan politis dalam dunia perencanaan sudah saatnya untuk diungkapkan sebagai usaha perencana dalam memahami realita politik dalam proses perencanaan yang terjadi di masyarakat. John Friedman menyatakan sebuah permasalahan dalam memahami relasi perencanaan dan politik serta menaruhnya dalam konteks sebuah teori adalah ambivalensi perencana terhadap posisi power. Karena, terdapat pandangan yang bertentangan mengenai keberadaan dimensi politik dalam perencanaan sebagai sebuah realita yang harus diterima atau sebuah error yang harus dihindari dalam dunia perencanaan.
Perencanaan tidak dapat berlepas diri dari kepentingan politik, karena perencana memiliki hubungan yang sangat dekat dengan lembaga dan individu yang bergerak berdasarkan kepentingan politik. Proses perencanaan telah bergeser dari sebuah proses rasional menjadi sebuah proses komunikatif, dimana setiap aktor berkomunikasi mengenai kepentingan, keberpihakan dan sikap yang diusung. Perencana harus berani untuk mengambil sikap di hadapan proses politik, tanpa harus terlibat dalam kepentingan praktis yang identik dengan dunia politik. Hal ini dilakukan dalam konteks mempertahankan justifikasi ilmiah yang dimiliki dan tujuan perencanaan yang dirumuskan.
Peran perencana dalam sebuah proses politik didefinisikan sebagai berikut :

1. Sebagai teknokrat dan engineer
Peran ini dimainkan dengan mengambil posisi sebagai advisor bagi para pengambil kebijakan dengan berporos kepada rasionalitas dan pertimbangan ilmiah. Informasi dimanfaatkan sebagai sebuah landasan dalam membangun kekuasaan dan kepentingan.

2. Sebagai birokrat
Perencana sebagai seorang birokrat memiliki fungsi menjaga stabilisasi organisasi dan jalannya roda pemerintahan. Informasi dimanfaatkan sebagai sebuah alat dalam menjaga kepentingan dan keberlangsungan organisasi. Peran ini biasanya disertai oleh kekuasaan yang datang secara formal dan legal kepada perencana.

3. Sebagai Advokat dan Aktivis
Fungsi ini merupakan sebuah manifestasi dari usaha menjembatani masyarakat terhadap hal-hal yang bersifat teknis dari sebuah produk rencana. Selain itu terdapat peran dalam melakukan mobilisasi kekuatan dan potensi masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi Pemerintah. Informasi dan proses komunikasi diperlakukan sebagai usaha membangun pemahaman masyarakat dan counter-opinion terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat. Peran ini lahir dari sebuah paradigma bahwasanya kelompok tertindas harus membebaskan dirinya sendiri dari dominasi kelompok penguasa (Freire, 1972). Kekuasaan didapatkan melalui mobilisasi kekuatan massa atau klaim dukungan masyarakat.

4. Sebagai Politikus
Politikus identik dengan tujuan pragmatis dan komunalis, sehingga perencana tidak diharapkan untuk bergabung dengan dunia politik. Maksud dari peran ini adalah seorang perencana tidak bisa lepas dari kepentingan dan dalam memperjuangkan kepentingannya, perencana dituntut memiliki perspektif seorang politisi. Seorang politikus memiliki insting dalam berkomunikasi dengan kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda lebih baik

Keempat peran diatas adalah refleksi dari posisi perencana dalam proses politik. Proses politik yang terjadi mendesak perubahan paradigma pada dunia perencanaan di Indonesia. Tantangan dan perubahan paradigma di dunia perencana, menuntut perencana untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. Dominasi pemerintah terhadap masyarakat hanya melahirkan sebuah sikap apatis dari masyarakat terhadap pemerintah dan produk perencanaan. Sikap apatis yang melahirkan ketidakefisienan dari pelaksanaan perencanaan karena tidak ada dukungan dari masyarakat terhadap produk perencanaan.
Paradigma perencanaan sebagai proses komunikatif menuntut perencana lebih dari sekedar seorang mekanis dengan berbekalkan analisis-analisis ilmiah dan teknis. Beberapa kasus perencanaan di Indonesia menunjukkan fenomena analisis ilmiah yang tergilas oleh argumen politik yang dibangun. Dalam situasi seperti ini, seorang perencana harus mampu memainkan peranan komunikator dalam mengartikulasikan kepentingan yang dimiliki oleh tiap-tiap aktor menjadi sebuah hasil perencanaan dengan kerangka argumen rasional dan pertimbangan teknis lainnya. Dengan kata lain seorang perencana harus mampu secara teknis, piawai secara organisatorik dan administratif serta mampu mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik.
Kasus perencanaan di Indonesia, peran perencana dibatasi hanya sampai kepada proses rasional dan prosedural. Perencana tidak bisa atau tidak mau dalam memperjuangkan kepentingannya yang termanifestasi dalam produk yang dibuatnya. Perencana yang bergerak dalam dimensi politik, bukan seorang perencana yang terjebak dalam kepentingan politik yang pragmatis. Tetapi perencana yang menggunakan media politik sebagai media untuk memperjuangkan kepentingannya. Seorang perencana pada akhirnya harus dapat menjadi seorang komunikator dalam proses politik yang terjadi, untuk mengkomunikasi kepentingan yang dimilikinya dan mengartikulasikan kepentingan kelompok lain dalam sebuah arena politik yang terbentuk.
Fungsi mediasi bahwa perencanaan juga merupakan interelasi politik dan science seperti yang telah dijelaskan di atas.

Perencanaan dengan Peramalan Intuitif
Metode peramalan intuitif merupakan metoda paling banyak digunakan dalam analisis kebijakan. Untuk menciptakan jenis peramalan ini, analisis menanyakan orang-orang yang memiliki pandangan mereka mengenai masa yang akan datang berdasarkan diterimanya suatu alternatif tindakan hipotesis. Orang-orang ini harus juga diminta untuk memprediksi masa yang akan datang dengan tanpa adanya perubahan dalam kebijakan yang berlaku sekarang-atau dalam kata lain, berdasarkan diterimanya suatu alternatif tanpa tindakan hipotesis. Orang ditanya tersebut kemungkinan sangat menguasai topik-topik tertentu jika masa depan topik tersebut begitu sangat penting artinya dalam peramalan, atau penduduk biasa jika hal itu merupakan perspektif yang mereka inginkan.
Seperti yang terdapat dalam hampir semua teknik analisa kebijakan, kemungkinan tidak akan ada waktu atau sumber daya untuk menarik suatu contoh yang dapat diprediksi secara meyakinkan untuk menggambarkan suatu populasi yang besar. Akan tetapi metodologi-metodologi yang sangat canggih sebenarnya telah tersedia untuk membuat peramalan intuitif lebih akurat, terinci dan sah jika tersedia cukup waktu dan sumber daya.

METODOLOGI PERENCANAAN
Perencana perkotaan mengamabil metode dari berbagai bidnag illmu dan memodifikasikannya dan/atau mengembangkan metode-metode baru untuk memperoleh dan menyaring berbagai sumber informasi. Jenis-jenis metode :
1. Proses Perencanaan
2. Perencanaan sebagai rekayasa pengetahuan
3. Perencanaan sebagai problem solving
4. Perencanaan sebagai proses produksi

Proses Perencanaan
Proses perencanaan merupakan sebuah proses yang dilakukan dalam rangka mencapai sebuah kestabilan. Sehingga setiap aktivitas yang ada di dalamnya merupakan sebuah usaha yang dilakukan memiliki titik fokus untuk mencapai satu kondisi keseimbangan dalam konteks problem solving, future oriented dan resource allocation. John Friedman (1987) memberikan definisi lebih luas mengenai planning sebagai upaya menjembatani pengetahuan ilmiah dan teknik (scientific and technical knowledge) kepada tindakan-tindakan dalam domain publik, menyangkut proses pengarahan social dan proses transformasi social.
Berdasarkan definisi luas planning yang dikemukakan oleh John Friedman dapat disimpulkan bahwa filosofi peran serta masyarakat dalam perencanaan mengalami suatu pergeseran, dari for people sebagai sifat perencanaan social reform menjadi by people sebagai sifat perencanaan dalam social learning. Oleh karena itu dalam memahami perencanaan maka akan lebih baik apabila perencanaan dipahami sebagai sebuah suatu upaya untuk membuat pengetahuan dan tindakan teknis dalam perencanaan yang secara efektif akan mendorong tindakan-tindakan publik.
Menurut Goulet (1986) setidaknya ada tiga rasionalitas yang saling berinter-relasi dalam penentuan kebijakan publik, yaitu technological rationality, politician rationality dan ethical rationality. Technological rationality menekankan kepada epistemologi ilmu modern. Political Rationality merupakan logika kepentingan yang selalu mengedepankan pemeliharaan kebijakan dan institusi. Seringkali motif mempertahankan institusi dan kebijakan menyelubungi motif untuk mempertahankan kekuasaan dan mencari keuntungan. Ethical rationality lebih menekankan pada pencitraan, pemeliharaan atau mempertahankan norma.
Adapun proses perencanaan pembangunan nasional meliputi :
1. Proses politik
2. Proses teknokratik
Perencana yang dilakukan oleh perencana profesional, atau oleh lembaga / unit organisasi yang secara fungsional melakukan perencanaan khususnya dalam pemantapan peran, fungsi dan kompetensi lembaga perencana.
3. Proses partisipatif
Proses yang melibatkan masyarakat (stakeholders).
4. Proses bottom-up dan top-down
Perencanaan yang aliran prosesnya dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas dalam hierarki pemerintahan.
Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. Sedangkan pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan.
Perencanaan pembangunan terdiri dari empat (4) tahapan yakni:
1) penyusunan rencana;
2) penetapan rencana;
3) pengendalian pelaksanaan rencana; dan
4) evaluasi pelaksanaan rencana.
Keempat tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga secara keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan yang utuh. Tahap penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari 4 (empat) langkah. Langkah pertama adalah penyiapan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur. Langkah kedua, masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan. Langkah berikutnya adalah melibatkan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan. Sedangkan langkah keempat adalah penyusunan rancangan akhir rencana pem Evaluasi pelaksanaan rencana adalah bagian dari kegiatan perencanaan pembangunan yang secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan.
Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat (benefit) dan dampak (impact).
Perencanaan paling baik apabila dilaksanakan selangkah demi selangkah yang diatur dalam urutannya : yaitu perencanaan dimulai dengan pengumpulan data yang relevan kemudian dilanjutkan dengan menentukan persoalan yang harus dipercahkan dan tujuan yangharus dicapai , dengan membuat sederetan cara pemecahan yang mungkin dapat dilakukan, dengan mengadakan pengujian pemecahan soal-soal ini secara komparatif sesuai dengan tujuan perencanaan dan akhirnya dengan memilih tahapan pelaksanaan yang diinginkan dan menjabarkan tahap pelaksanaan itu ke dalam rencana tindakan.
Tujuan perencanaan pada umumnya tidak jelas sampai kemungkinan pemecahan diuji dan dibicarakan. Mungkin diperlukan waktu beberapa tahap untuk memperdebatkan rencana, memperjelas tujuan, dan membuat rencana baru sebelum orang merasa puas.
Konsep penting dalam proses perencanaan modern adalah bahwa perencanaan hahrus merupakan perencanaan iteratif (tinjauan berulang), dengan masing-masing tahapan menjadi lebih terperinci dan lebih konkrit. Tiap-tiap siklus terdiri atas rangkuman persoalan melakukan usaha dengan pemecahan, dan mempertimbangkan kebaikan pemecahan persoalan itu terhadap apa yang telah diketahui.
Jika menggunakan pendekatan iteratif, maka perlu diperhatikan agar jangan terlalu bersusah payah mengumpulkan data sebelum orang mencoba merumuskan sejumlah usulan tahap permulaan, agar tidak terlalu banyak data yang salah dikumpulkan.
Kunci lain agar perencanaan bisa efektif adalah mengetahui bahwa keterlibatan masyarakata perlu untuk mencapai kesepakatan masyarakat yang diperlukan untuk pelaksanaan kerja. Perencana harus membantu semua pihak yang berkepentingan untuk mencapai kesepakatan tentang permasalahan dan rencana yang diinginkan.
Perencanaan sebagai rekayasa pengetahuan
Rekayasa pengetahuan merupakan proses perubahan pemahaman melalui pesan (message), sedangkan perencanaan sebagai rekayasa pengetahuan harus ada tindakan yang jelas karena perencanaan sebagai sebuah pedoman atau instruksi. Perencanaan harus jelas jenis pedoman apa, berapa intensitas / besaran pedoman, dimana lokasi pedoman dilaksanakan, kapan dan kurun waktu pedoman dilaksanakan, siapa stakeholders pedomannya, cara dan alat dalam melaksanakan pedoman, dan tujuan dari pedoman tersebut. Para penyusun rencana membuat pedoman atau instruksi yang kemudian disampaikan kepada publik atau privat.
Perencanaan tidak dapat terlepas dari kepentingan politik, karena perencana memiliki hubungan yang sangat dekat dengan lembaga dan individu yang bergerak berdasarkan kepentingan politik. Proses perencanaan telah bergeser dari sebuah proses rasional menjadi sebuah proses komunikatif, dimana setiap aktor berkomunikasi mengenai kepentingan, keberpihakan, dan sikap yang diusung. Perencana harus berani untuk mengambil sikap di hadapan proses politik, tanpa harus terlibat dalam kepentingan praktis yang identik dengan dunia politik.
Dalam perspektif perencanaan sebagai sebuah proses komunikatif sangat vital dalam perencanaan. Peran perencana sebagai informan menentukan posisinya di hadapan aktor lain. Informasi yang dimiliki oleh perencana sebuah daya tawar yang kuat dalam menghadapi tekanan, intimidasi, atau manipulasi yang datang dari aktor lai