Minggu, 06 Mei 2012

Teori Pertumbuhan wilayah


silas petra silitonga
123 07 0003
PL ITI
Teori Pertumbuhan wilayah
Teori yang digagaskan adalah teori “Keynes”, teori ini masuk dalam aliran Keynes, isinya yaitu mengemukakan bahwa karena upah bergerak lamban, sistem kapitalisme tidak akan secara otomatis menuju keseimbangan penggunaan tenaga secara penuh (full employment equilibrium). Akibat yang ditimbulkan adalah justru sebaliknya, equilibrium deemployment yang dapat diperbaiki melalui kebijakan fiskal atau moneter untuk meningkatkan permintaaan agregat.

Fenomena tersebut masuk dalam teori neoklasik. Dalam teori ini terdapat beberapa pernyataan yaitu sebagai berikut :
►    Pemenuhan pekerjaan yang terus menerus tidak dapat diterapkan pada sistem multi-regional dimana persoalan regional timbul disebabkan karena perbedaan-perbedaan geografis dalam hal tingkat penggunaan sumber daya.
►    Persaingan sempurna tidak dapat diberlakukan pada perekonomian regional dan spasial.
►    Tingkat pertumbuhan terdiri dari 3 sumber: akumulasi modal, penawaran tenaga kerja dan kemajuan teknologi.
►    Implikasi dari persaingan sempurna adalah modal dan tenaga kerja akan berpindah apabila balas jasa faktor-faktor tersebut berbeda-beda.
►    Modal akan bergerak dari daerah yang mempunyai tingkat biaya tinggi ke daerah yang mempunyai tingkat biaya rendah, karena keadaan yang terakhir memberikan suatu penghasilan yang lebih tinggi.
►    Tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan akan pindah ke daerah lain yang mempunyai lapangan kerja baru pendorong untuk pembangunan di daerah tersebut.
►    Dalam perkembangan ekonomi jangka panjang senantiasa akan muncul kekuatan tandingan yang dapat menanggulangi ketidakseimbangan dan mengembalikan penyimpangan kepada keseimbangan yang stabil sehingga tidak diperlukan intervensi kebijakan secara aktif.

Peran suatu perencana kota dan wilayah dalam satu pemerintahan kota, kabupaten, dan propinsi adalah sebagai berikut :
  1. Perencana sebagai pelayan publik yang netral(berpegang teguh pada profesinya). Para perencana digunakan untuk memberitahukan masyarakat untuk bertindak yang paling baik seperti apa yang mereka inginkan. Jika pilihan akan dilakukan, perencana akan menggunakan keahliannya untuk memperkirakan bagaimana alternatif-alternatif yang beragam akan dipilih.
Contoh: Pada perencanaan suatu kawasan perdagangan, perencana memberikan alternatif kepada masyarakat pembeli maupun pedagang tetapi alternatif itu tidak bersifat memaksa kepada masyarakat.
  1. Perencana sebagai pembangun konsensus masyarakat. Dalam pandangan ini perencana tidak dapat dilepaskan dari politik. Karena perencanaan tidak dapat dilaksanakan tanpa kemauan politik dan kemauan untuk bertindak, perencana harus dekat atau bahkan bagian dari proses politik.
Contoh : Politik di sini maksudnya adalah pemerintah, perencana tidak dapat mengumpulkan data-data untuk dipertimbangkan dan dijadikan bahan acuan dalam menentukan alternatif bagi masyarakat.
  1. Perencana sebagai enterprenur/wirawasta. Perencana yang menjalankan suatu agen/kantor yang berorientasi pada tugas, para perencana sering kali menjadi enterprenur.
Contoh : Misalnya dalam suatu pembangunan di pusat kota yang menggunakan dana publik untuk menyiapkan lokasi dan pembebasan tanah. Perencana yang kantornya melaksanakan rancangan proyeknya juga akan menjalankan pemasarannya.  Dengan demikian perencana harus lebih berperan sebagai enterprenur dari pada perencana tradisional yang hanya merencana/merancang.
  1. Perencana sebagai advokasi. Peranan perencana dalam hal ini bertindak sebagai perwakilan untuk suatu kelompok tertentu atau posisi dan dipilih untuk melanjutkan  kepentingan tertentu. Perencanaan advokasi, seperti penasehat hukum tidak selalu mewakili kepentingan publik, tetapi lebih pada  kepentingan klien. Kepentingan itu dapat atau bukan berkaitan dengan kepentingan publik secara umum.
Contoh : Suatu perusahaan yang terkena dampak dari buruknya pengaturan drainase kota ingin menyelesaikan masalah tersebut dengan meminta bantuan kepada perencana kota yang lebih berkompeten untuk mengatasi hal demikian.

  1.  Perencana sebagai agen perubahan. Pendekatan ini menekankan perubahan yang radikal pada susunan kehidupan sosial ekonomi masyrakat, yang sudah mapan, sebagai suatu tujuan perencanaan  jangka panjang. Perencana dalam hal ini menginginkan perubahan karena timbulnya kejenuhan atas keadaan sekarang yang dirasakannya.
Contoh : Seorang perencana yang sudah merasa jenuh terhadap keadaan suatu wilayah yang menurutnya tidak mengalami kemajuan karena kebijakan perencanaan yang tidak sesuai. Olehnya itu perencana tersebut mengusahakan agar keadaan yang berlangsung sekarang diubah sedapat mungkin sesuai dengan yang diinginkannya.
Pengertian ”backwash effects” dan ”spread effects” terdapat dalam teori “inter” dan “intra” wilayah. Backwash effects contohnya adalah makin bertambahnya permintaan masyarakat suatu wilayah kaya atas hasil-hasil dari masyarakat miskin berupa bahan makanan pokok seperti beras yang sumbernya dari pertanian masyarakat wilayah miskin. Sementara Spread effects contohnya adalah makin berkurangnya kualitas pertanian masyarakat miskin akibat dampak negatif dari polusi yang disebabkan oleh masyarakat wilayah kaya.
Trickle down effects adalah perkembangnan meluasnya pembagian pendapatan. Teori “trickle down effects” dari pola pembangunan yang diterapkan di wilayah miskin di negara berkembang dirasa tidak berhasil memecahkan masalah pengangguran, kemiskinan dan pembagian pendapatan yang tidak merata, baik di dalam negara berkembang masing maupun antara negara maju dengan negara berkembang. Misalnya yang terjadi antara negara Indonesia (dalam hal ini dikategorikan wilayah miskin) dan negara Jepang (wilayah kaya). Indonesia merupakan salah satu pemasok bahan baku untuk Jepang, sementara kenyataan yang terjadi Jepang semakin kaya dan Indonesia semakin miskin. Maksudnya, tingkat kemiskinan di Indonesia lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan di Jepang.
 Sistem adalah satu kumpulan komponen/elemen yang bekerja bersama-sama untuk semua tujuan dari keseluruhan. Teori ”sistem” perencanaan kota dan wilayah adalah suatu proses perencanaan yang terjadi secara terstruktur dan sistematis yang berawal dari elemen-elemen penting yang jadi bahan pertimbangan (input), kemudian diproses dengan membahas hal-hal yang urgen termasuk hubungan-hubungan antara elemen-elemen tadi yang kemudian menghasilkan suatu output berupa alternatif perencanaan atau produk-produk perencanaan terhadap suatu kota dan wilayah. Proses perencanaan tentunya tidak hanya berhenti sampai di situ, dilanjutkan dengan pengawasan dan kemudian evaluasi terhadap hasil-hasil pelaksanaan produk perencanaan yang telah dibuat dan direalisasikan.
CARA PENGEMBANGAN WILAYAH
Suatu proyek pembangunan daerah dilaksanakan pada tingkat kabupaten/kota sebagai unit terrendah dalam hirarki pembangunan. Proyek terkait dengan jenisnya dan dananya. Setelah jenis dan dananya disediakan maka tahap berikutnya adalah menetapkan di bagian mana dari daerah kabupaten/kota proyek tersebut akan dilaksanakan. Ada beberapa cara untuk menetapkan proyek pembangunan. Cara penetapan proyek biasanya dilakukan, pada tahap awal, melalui suatu kajian akademis antara lain berdasarkan pendekatan geografi, pendekatan ekonomi dan lainnya.
Pendekatan geografi dilakukan melalui tahapan penetapan masalah, pengumpulan data dan analisis data mulai dari kegiatan penyaringan, pengelompokan, klasifikasi data, kegiatan pengwilayahan, korelasi dan analogi. Oleh karena adanya keragaman berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah dan skala waktu pelaksanaan, disusun skala prioritas proyek.
Hasil korelasi secara spasial (tumpang tindih atau overlay peta wilayah) dapat ditunjukan masalah apa sebagai prioritas proyek dan di mana lokasi proyek tersebut dilaksanakan. Dalam pelaksanaanya, pendekatan geografi tidaklah sesederhana itu.
Beberapa cara lain untuk menetapkan proyek pembangunan dapat disebutkan antara lain dengan menerapkan teori Economic Base, Multiplier Effect yang berkaitan dengan teori input-output dan penerapan teori lokasi,(Location Theory), teori pusat (Central Place Theory) dan penerapan teori Kutub Pengembangan (Growth Pole Theory).
  1. Teori Lokasi. Paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan lokasi proyek pembangunan yaitu (1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan pemasaran dan (3) keuntungan tertinggi.
  2. Teory Pusat Pelayanan. Pola ideal yang diharapkan terbentuk, asumsi homogin dalam hal bentuk medan, kualitas tanah dan tingkat ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller menyajikan bentuk pola pelayanan seperti jejaring segi enam (hexagonal). Bentuk pola pelayanan hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam hal efisiensi transportasi, pemasaran dan administrasi (Haggett, 2001)
  3.  Teori Kutub Pertumbuhan. Berbeda dengan Christaller yang berlatar belakang ahli Geografi, teori Kutub Pertumbuhan diprakarsai dan dikembangankan oleh para ahli ekonomi. Teori ini melahirkan konsep ekonomi seperti konsep Industri Penggerak (leading industry), konsep Polarisasi dan konsep penularan (trickle atau spread effect).
Beberapa kelemahan penerapan cara cara di atas dalam penetapan proyek pembangunan dihadapkan pada factor politis pengambil kebijakan di tingkat kabupaten/kota utamanya pada era otonomi daerah saat ini, factor ketersediaan dana dan bidang tanah tempat dilaksanakannya proyek tersebut. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pendekatan geografi menjadi factor kunci dalam kegiatan penetapan proyek pembangunan berdasarkan penetapan prioritas secara tepat.
Penerapan Teori Growth Pole di Indonesia
Di Indonesia konsep growth pole juga diadopsi dalam strategi pembangunan wilayahnya. Dampaknya terbentuk megaurban pada berbagai wilayah yang sulit dibatasi, seperti Jabodetabek, Gerbangkertasusila dan lain-lain. Masalah berikutnya terjadi ketimpangan wilayah, terutama dalam hal kesejahteraan antara kota-kota utama dan wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu ada kecenderungan masyarakat untuk mendekati kawasan potensial/sumber penghidupan, yaitu menuju kota-kota utama tersebut
Dampak Penerapan Konsep Growth Pole di Indonesia
Dampak penerapan konsep growth pole lebih banyak dirasakan oleh penduduk pedesaan, hal ini mengingat harapan terjadinya trickle down effect tidak terpenuhi, bahkan terjadi backwash effect. Oleh karena itu perlu dipikirkan konsep baru yang dapat memecahkan persoalan yang diakibatkan penerapan konsep grwoth pole sekaligus meningkatkan kesejahteraan pada masa mendatang, utamanya bagi penduduk pedesaan. Dan mengingat di Indonesia, pulau Jawa sangat besar merasakan dampak dari konsep growth pole dibanding pulau-pulau lain di Indonesia, maka penerapan agropolitan pada pulau Jawa akan dibahas lebih mendalam.
Dasar pertimbangan penerapan konsep agropolitan, akan menjadi dasar mengapa konsep agropolitan sesuai digunakan untuk memecahkan permasalahan dampak konsep growth pole. Kemudian persyaratan suatu kota atau wilayah menjadi kawasan agropolitan diberikan sebagai alat penentuan pilihan kota-kota yang akan menjadi agropolitan. Berdasarkan kajian beberapa pemikir agropolitan, diusulkan konsep struktur tata ruang agropolitan, dan dikaitkan permasalahan yang terjadi di pulau Jawa, pada setiap pembahasan dilakukan kajian awal kemungkinan konsep agropolitan diterapkan di pulau Jawa.
Seperti halnya di negara asalnya dan di negara-negara lain, penerapan konsep growth pole di Indonesia juga menimbulkan dampak yang tidak dapat dihindari, seperti sentralisasi, urbanisasi dan mega urban, pengangguran di perkotaan dan pedesaan, bias perkotaan dan pro Jawa.
  1.  Sentralisasi
Sentralisasi pada sektor industri yang ada di Indonesia sebagai suatu dampak dari penerapan suatu teori Growth Pole, dampak tersebut dapat dilihat dari data PDB di Indonesia yang dibagi dalam wilayah pedesaan dan perkotaan. Apabila diasumsikan sektor primer lebih terkosenrasi pada wilayah pedesaan sedangkan untuk sektor sekunder dan tersier terkosentrasi pada wilayah perkotaan. Pada tahun 1976-1998 terjadi peningkatan pada sektor sekunder dan tersier pada PDB di Indonesia. Sehingga adanya perbedaan suatu kebutuhan pada wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan. Dimana pada wilayah perkotaan lebih besar nilai PDB dibandingkan dengan wilayah pedesaan.

  1. Urbanisasi dan Megaurban
Sentralisasi dari kegiatan industri di kutub-kutub wilayah perkotaan telah menciptakan suatu lapangan pekerjaan dan mengakibatkan banyak penduduk dari wilayah pedesaan untuk pindah ke kutub kota. Terbatasnya pekerjaan yang ada di wilayah pedesaan mengakibatkan timbulnya urbanisasi penduduk desa menuju kota. Akibat dari urbanisasi maka kota-kota yang terkosentrasi oleh kegiatan industri akan membentuk suatu wilayah yang metropolitan dan megaurban, seperti Jabotabek, Bandungraya dan sebagainya.

Ini tentunya sebagai akibat penerapan konsep growth pole yang diterapkan dalam strategi keruangan di Indonesia. Yaitu konsentrasi pertumbuhan kegiatan ekonomi pada ruang. Konsentrasi ini di satu sisi akan didapatkan efisiensi, tetapi di pihak lain bila konsentrasi semakin besar, efisiensi sebagai hasil dari trickling dowmn effect, atau penetesan kesejahteraan pada wilayah sekitarnya ternyata tidak terjadi, bahkan sebaliknya terjadi backwash effect, penyapuan sumberdaya yang ada di sekitar kutub atau pole yang ada.

Kosentrasi kegiatan tersebut dan urbanisasi atau terjadinya megaurban ternyata tidak didukung oleh penyediaan fasilitas yang cukup di wilayah perkotaan. Hal ini diakibatkan karena adanya keterbatasan pemerintah dalam fasilitas tersebut. Karena jumlah penduduk yang ada di wilayah perkotaan melebihi kapasitas suatu kota.

Pada akhirnya terjadi penurunan kualitas kehidupan di wilayah kutub (pole) maupun wilayah perkotaan, sehingga meningkatkan biaya sosial sebagai akibat diseconomy scale, seperti pencemaran air dan udara, marak pencurian dll.



  1.  Pengangguran di Perkotaan dan Pedesaan
Di perkotaan lebih didominasi oleh kegiatan industri, kegiatan tersebut memiliki kemampuan terbatas dalam menyerap tenaga kerja, sementara lapangan kerja yang ada di pedesaan sangat terbatas juga.

Banyak pengangguran di pedesaan karena diakibatkan oleh :
o         Menurunnya kualitas Sumber Daya Alam (SDA).
o         Kurangnya penghargaan terhadap hasil pertanian.
o         Kurangnya hasil produksi, yang biasanya dapat dilakukan 2 kali dalam setahun menjadi 1 kali dalam setahun. Kurangnya tingkat hasil produksi tersebut diakibatkan oleh perubahan cuaca dan pasokan air akibat berkurangrangnya mata air di pegunungan.
Dari uraian diatas mengakibatkan sulitnya masyarakat pedesaab dalam mencari alternatif pekerjaan, oleh karena itu banyak masyarakat pedesaan yang mencari alternatif baru antara lain menuju kota untuk mendapatkan pekerjaan seperti :
o Buruh bangunan.
o Buruh galian.
o Kuli dan lain-lain.
Dan bahkan masyarakat pedesaan dalam mencari alternatif pekerjaannya ke luar negeri untuk menjadi TKI

 sumber :

PENDEKATAN ECOREGION DALAM PENATAAN RUANG WILAYAH BERKAWASAN PESISIR



 PENDEKATAN ECOREGION DALAM PENATAAN RUANG  WILAYAH BERKAWASAN PESISIR

Pendekatan ecoregion merupakan suatu konsep atau cara pemahaman atau pendekatan yang memposisikan pengelolaan sumber daya hayati dalam  suatu kesatuan besar dari daratan dan lautan dan kehidupan dari beragam karakteristik  spesies, komunitas, dinamika dan kondisi lingkungan. Dimana satu dengan lainnya  saling tergantung dan keterkaitan yang kuat antar sumberdaya hayati dan ekosistem pada skala region, oleh karena itu diperlukan pendekatan atau  pengelolaan  konservasi yang lebih luas, komprehensif dan terintegrasi dengan tidak terlalu tersekat oleh batas politik, atau dengan kata lain program aksi ekoregion merupakan pendekatan  Konservasi Sumberdaya Alam  melalui pendekatan wilayah ekologi ketimbang wilayah politik,  administrasi pemerintahan serta demi kesejahteraan kehidupan manusia untuk masa sekarang dan masa yang akan datang, dan tentunya masih tetap menghormati kedaulatan serta  juridiksi masing-masing negara.
Pendekatan ekoregion ingin membangun  kesadaran bahwa apa yang telah di bangun melalui  program, perlu didorong dan didukung menjadi kesadaran dan kepentingan bersama kedepan, bahkan ketika melakukan pendekatan ekoregion  implikasinya  tidak hanya  lokal tetapi menjadi global, dalam hal ini adalah konteks tri-national. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di suatu lokasi (sebagai misal perikanan) tentunya akan berimpilkasi  untuk lokasi lain, oleh karena itu perlu suatu pola pengelolaan bersama, untuk meminimalkan impact dan memperkuat pengelolaan agar lebih efisien dan efektif
Permasalahan pembangunan dan penataan ruang di wilayah pesisir dengan pendekatan dan metodologi pengelolaan ruang kawasan pesisir dengan model Dinamis. Dipandang dari epistimologi adalah merumuskan suatu konsep penataan ruang wilayah ekologis terpadu (pendekatan ecoregion) sebagai penerapan konsep pembangunan berkelanjutan. Secara Kausalitas  bersifat timbal balik dan dinamis dari suatu kegiatan pembangunan yang memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka mencapai tujuannya dan berlangsung di atas suatu ekosistem, untuk kemudian diamati dampaknya terhadap keberlangsungan kemampuan dan fungsi ekosistem itu sendiri dalam jangka waktu tertentu. Kawasan pesisir perlu dilakukan pemamfaatan dan perencanaan tata ruang secara berkesinambungan, dipandang dari ontologi pendekatan pembangunan yang terpilih dikawasan pesisir merupakan cerminan suatu bangsa, dan dipandang dari aksiologi perencanaan yang berhati – hati dengan selalu mempertimbangkan konsevasi alam.

Konsep Pendekatan Ecoregion Suatu DAS harus berintikan empat komponen penting yang merupakan suatu kesatuan (bukan urutan prioritas), yaitu:

1.        Batasan Wilayah Perencanaan : natural domain
Batasan perencanaan berdasarkan pada kesamaan karakteristik fenomena alami (natural domain) – dalam penelitian ini : DAS – dan bukan pada batasan administratif.

2.        Kawasan pesisir sebagai dasar penataan ruang kawasan di hulunya
Kawasan pesisir selalu menerima dampak baik dari kegiatan di kawasan hulu maupun di kawasan pesisir sendiri, disamping mempunyai fungsi ekologis tersendiri yang penting dan perlu dijaga kelestarian fungsi-fungsinya. Untuk itu, bagi suatu Pendekatan Ecoregion Suatu DAS yang terpadu, pertimbangan terhadap keterkaitan fungsional antar kawasan (hulu dan hilir) dan keunikan karakteristik kawasan pesisir dikaitkan dengan fungsi ekologisnya merupakan aspek penting untuk tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian, dalam suatu Pendekatan Ecoregion Suatu DAS, kawasan pesisir harus menjadi dasar penataan ruang di kawasan hulunya.

3.        Pendekatan Keterpaduan ; maka dalam Konsep Pendekatan Ecoregion Suatu DAS harus memperhitungkan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
·   Integrasi Ekosistem Terestrial (darat) dengan Maritim (laut) (land-ocean interaction)
Integrasi perencanaan sektoral (antar sektor-sektor pembangunan)
Integrasi perencanaan secara vertikal (lokal, regional, nasional) 
Integrasi Sains dan Manajemen (perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan akademis        sebagai input Kebijakan)

4.            Alokasi ruang yang proporsional ; dihubungkan dengan fungsi kapasitas
asimilasi lingkungan dan Daya Dukung Lingkungan. Pada Konsep Pendekatan Ecoregion Suatu DAS harus memperhitungkan secara cermat fungsi kapasitas asimilasi dan daya dukung lingkungan melalui keserasian pola pemanfaatan ruang antara :
a) kawasan budidaya,
b) kawasan penyangga, dan
c) kawasan lindung. Kawasan lindung merupakan wilayah preservasi yang harus dialokasikan dalam suatu wilayah perencanaan minimal mencapai 30 % berupa lahan alami atau hutan (dapat berupa hutan lindung, hutan produksi atau hutan wisata) untuk tercapainya keseimbangan antara wilayah terbangun dengan wilayah alami. Sehingga alokasi ruang dalam kegiatan penataan ruang tidak hanya menata berbagai kegiatan pembangunan secara spasial yang dikaitkan dengan kesesuaian lahan saja, tapi juga memperhitungkan dan mempertimbangkan dampak yang terjadi akibat pembangunan terhadap lingkungan agar dampak negatif dapat dihindari dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan yang berkelanjutan.

Kesimpulan
Karena pendekatan Ecoregion dalam suatu kegiatan perencanaan wilayah ini merupakan suatu pendekatan baru yang disesuaikan dengan kaidah pembangunan berkelanjutan, maka kesimpulan dibagi dalam empat bagian.
Teori perencanaan selalu mengalami pergeseran sesuai dengan perubahan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Secara singkat, teori perencanaan konvensional yang berorientasi pada tujuan peningkatan kesejahteraan ekonomi mengalami pergeseran yang mengacu pada paradigma baru pembangunan berkelanjutan. Sesuai dengan esensi pembangunan berkelanjutan yang pada dasarnya menginternalisasikan aspek lingkungan ke dalam perencanaan kegiatan pembangunan, maka – sebagai salah satu tools pelaksanaan pembangunan-dikembangkan Pendekatan Perencanaan Wilayah Berkelanjutan yang diwujudkan dengan Konsep Pendekatan Ecoregion. Salah satu ciri utama Pendekatan ini adalah batasan perencanaannya disesuaikan dengan batasan ekologis yang mengikuti kesamaan karakteristik alamiah (natural phenomenon, dan tidak lagi mengikuti batasan administratif) atau biasa disebut dengan ecoregion.

Hasil Kajian tentang DAS dan Karakteristik Khusus Kawasan Pesisir.
Setiap bagian suatu DAS mempunyai fungsi dan karakteristik tertentu. Adanya hubungan erat antara perubahan tata guna lahan di sepanjang sungai terhadap perubahan kualitas air sungai dalam bentuk pencemaran dan sedimentasi. Konsep perencanaan kawasan pesisir yang sejak dekade yang lalu banyak dikembangkan baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang memandang kawasan pesisir sebagai suatu kawasan yang memiliki fungsi dan keunikan karakteristik tertentu. Telah diketahui pula kawasan pesisir dan daratan di atasnya (kawasan hulu) mempunyai hubungan yang erat berdasarkan proses hidrologis darat-laut melalui aliran sungai yang bermuara ke pesisir. Dalam rangka perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir, perlu pendekatan keterpaduan perencanaan dengan kawasan di hulunya agar kegiatan manusia di kawasan hulu tidak berdampak negatif terhadap kawasan pesisir  dalam bentuk Konsep Pendekatan Ecoregion

Pendekatan Ecoregion harus dapat mengintegrasikan kajian-kajian biologis untuk mengetahui kemampuan ekologis suatu wilayah dalam menerima dan mengolah limbah. Untuk itu diperlukan integrasi ilmu pengetahuan (sains) dalam hal pengelolaan lingkungan untuk memperkaya pemahaman akan karakteristik suatu jenis ekosistem menjadi suatu hal penting. Dalam konteks tersebut dapat dipahami bahwa batasan perencanaan wilayah perlu dirubah dari batas administratif menjadi batas natural domain. Khusus untuk suatu batas perencanaan wilayah DAS, akibat sifat aliran sungai yang mengalir dari hulu ke hilir sehingga kawasan pesisir selalu menerima dampak dari hulu dan pentingnya fungsi ekonomi dan ekologi kawasan tersebut, maka kawasan pesisir hendaknya menjadi dasar bagi penataan ruang kawasan di hulunya.

Silas Petra Silitonga 123 07 0003 PL ITI

Sumber :

Jumat, 04 Juni 2010

Pemahaman Kebutuhan Rumah (“Housing Needs”)

Pemahaman Kebutuhan Rumah (“Housing Needs”)

Saat membicarakan masalah perumahan, istilah “kebutuhan/needs” sering digunakan dengan pengertian yang berbeda-beda, kadang diartikan secara kuantitatif atau kualitatif. Secara kuantitatif, kebutuhan rumah dengan cepat sekali dihubungkan dengan jumlah dari rumah yang dibutuhkan. Secara kualitatif, kebutuhan rumah mempunyai maksud pada kebutuhan setiap individu terhadap sebuah tipe rumah. Robinson (1979) memberikan definisi secara kuantitatif yang dihubungkan dengan standar minimum dan kemampuan ekonominya,

Di Indonesia, masalah “kebutuhan rumah” juga selalu menunjukkan pada jumlah rumah yang harus dibangun. Perkiraan jumlah kebutuhan rumah dihitung berdasarkan pertumbuhan penduduk dan koefisien rumah yang mengalami kerusakan. Menganut metoda penilaian kondisi rumah dari Amerika , rumah dibagi dalam 3 kategori:

1. rumah permanen dengan standar baik

2. rumah semi-permanen dengan standar dan infrastruktur yang kurang namun bisa diperbaiki;

3. rumah yang tidak bisa diperbaiki (reyot).

Penelitian Struyk di Indonesia menyatakan, Pengertian secara kuantitiatif yang berhubungan dengan tipe bangunan juga sangat bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Kalau Glaeser (1985) melihat bahwa kebutuhan rumah akan lebih nyaman bila terbuat dari kayu dan kaca, dan menolak bahwa kebutuhan individu dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya penghuninya

Hardoy dan Satterthwaite (1986: 247) memberikan fokus bahwa kebutuhan individu dan keluarga mempunyai masing-masing kebutuhannya akan rumah. Bagi kaum muda yang belum menikah kebutuhan rumah lebih didasarkan pada kemungkinan untuk membayar sedikit dan menabung sisanya, hal ini berbeda bagi keluarga dengan beberapa anak yang sudah mempunyai penghasilan tetap. Sedangkan Hole (1967:117) menyatakan bahwa kebutuhan akan rumah lebih baik didasarkan pada latar belakang sosial penghuni daripada sekedar membangun.

Mangin (1964), Hole (1967), Turner (1972), Hardoy dan Satterthwaite (1986) adalah beberapa pakar perumahan yang memberikan makna terhadap kebutuhan rumah secara kualitatif daripada kuantitatif. Tabel di bawah menunjukkan bahwa definisi secara kuantitatif lebih sering dipakai sebagai penentu kebijaksanaan. Mereka melihat kebutuhan rumah sebagai sebuah barang yang harus diproduksi sesuai permintaan pasar sesuai dengan teori ekonomi yang konvensional.

Tabel 1. Macam Definisi “kebutuhan rumah” (housing needs)

Sumber

Definisi Housing Need

Turner, John F.C

(1972, 174)

kesalahan pemahaman konseptual perumahan sebagai kata benda dan mengidentifikasi nilai-nilai dan benda-benda bukan pemahaman perumahan sebagai tindakan dan melihat nilai dalam peran yang prosedur dan produk dalam kehidupan masyarakat

Scottish Housing Advisory Committee

(1972, 11)

Perumahan perlu memiliki banyak dimensi. Ini melibatkan pertimbangan jumlah rumah tangga dalam kaitannya dengan jumlah rumah. "
"... Kualitas dan kecukupan rumah dan lingkungan mereka, hubungan antara ukuran rumah dan rumah tangga, keseimbangan antara berbagai bentuk kepemilikan, lokasi, jenis dan biaya rumah yang ada, semua harus diperhitungkan.”

Watson, C.J, et al.,

(1974, 31)

Perumahan merupakan kebutuhan rumah tangga estimasi potensi di setiap tahun proyeksi, yang merupakan jumlah minimum tempat tinggal yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan penduduk masa depan yang diharapkan.”

Dolbeare, Cushing N (1976, 48, 50)

"Perumahan adalah perlu untuk memperkirakan produksi perumahan. Sebagai penduduk telah tumbuh, begitu juga kebutuhan perumahan. "

Tabel 1. Macam Definisi “kebutuhan rumah”(housing needs) (lanjutan)

Sumber

Definisi Housing Need

Lemer, Andrew C. (1981, 387)

"Perumahan merupakan kebutuhan jumlah unit hunian yang diperlukan untuk mengakomodasi semua rumah tangga di beberapa standar tertentu."

Prasong Eiam-anant (1982:141)

Kebutuhan perumahan berasal dari banyak faktor. Untuk menganalisis perumahan lebih terinci, orang harus memecah kebutuhan perumahan ke fisik, komponen ekonomi dan sosial. "

Nasayao, Delia P. (1983, 10)

“Perumahan merupakan kebutuhan jumlah unit hunian yang akan dibangun atau diperbaiki untuk memberikan unit terpisah rumah tangga dengan kualitas yang dapat diterima. "

Robert R Nathan Associates, Inc. (1984, 8)

“kebutuhan perumahan fisik yang diproyeksikan untuk jumlah unit hunian baru yang dibutuhkan untuk memenuhi pertumbuhan penduduk, jumlah unit upgradeable, jumlah unit substandar yang dapat diupgrade dan karenanya tidak memerlukan penggantian, dan jumlah unit hunian tambahan yang dibutuhkan untuk mengurangi kepadatan penduduk. "

Joan Ash

(1985, 27, 29-38)

"Perlu mengacu perumahan kuantitatif jumlah tempat tinggal yang dibutuhkan oleh rumah tangga."
"Kebutuhan perumahan kualitatif mengacu pada standar ruang, jenis rumah tangga."

Ahmad, Kausar Bashir

(1991, 157)

Perumahan kebutuhan harus dipertimbangkan sehubungan dengan kebutuhan dasar dan kebutuhan budaya

Mathur, G.C

(1993, 3)

Perlu Perumahan adalah jumlah unit yang diperkirakan dengan jumlah rumah tangga baru, penggantian dan backlog."

Laveratt & Nash (1995:39)

Konsep kebutuhan perumahan adalah diinvestasikan dengan sejumlah politik, makna emosional dan sosial. Selain itu, bukan konsep statis.

[1]

Permasalahan Akan Kebutuhan Rumah

Sudah merupakan kegiatan tipikal, di setiap negara, pemerintah selalu mempersiapkan rumah yang siap pakai untuk masyarakat yang tidak mampu membeli rumah yang disediakan oleh pasar perumahan. Sehingga dasar pertimbangan pemerintah selalu berdasarkan pada kemampuan ekonomi yaitu masyarakat berpenghasilan rendah dan kemampuan finansialnya. Walaupun sulit untuk mengatakan bahwa pembangunan perumahan tidak harus hanya didasarkan pada kemampuan ekonomi, tetapi melihat beberapa perumahan menengah ke bawah yang kosong, maka perumahan seharusnya tidak hanya berdasarkan pada tingkatan ekonomi saja tetapi juga pada karakteristik penghuninya. (Michelson dalam studinya di Amerika)

Solusi yang ideal untuk menunjang percepatan pembangunan perumahan rakyat yang berketanjutan antara lain dengan mengoptimalkan peranan dari beberapa pihak yaitu Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah (selaku regulator), Pengembang (setaku pelaksana pembangunan perumahan) dan Institusi terkait, seperti Lembaga keuangan khususnya perbankan dalam mendukung aspek pembiayaannya dan institusi lainnya sepertil PLN, PDAM, Telkom, Jamsostek, Taspen, YKPP sebagai pendukung pembangunan perumahan.

Salah satu alternatif untuk memecahkan kebutuhan hunian di perkotaan adalah dengan mengembangkan model hunian secara vertikal berupa bangunan rumah susun yang untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah adalah dalam bentuk rumah susun sederhana baik dalam skim rumah susun sewa (rusunawa) maupun rumah susun milik (rusunami).

Pendanaan atau Pembiayaan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan perumahan berkelanjutan termasuk pengembangan rumah susun. Pembiayaan perumahan maupun rumah susun ini meliputi antara lain pembiayaan untuk pembangunannya (tanah, perizinan & perencanaan, infrastruktur, bangunan) dan penyediaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bagi masyarakat (konsumen).

Ketersediaan fasilitas KPR sangatlah diperlukan, hal ini mengingat bahwa kemampuan ekonomi masyarakat untuk membeli/memiliki rumah termasuk rumah susun secara kontan "cash" masih rendah. KPR adalah jenis kredit yang sifatnya jangka panjang, untuk itu bank pemberi KPR harus mempunyai dana yang sifatnya jangka panjang dan Stabil. Kondisi ini merupakan permasalahan tersendiri bagi bank pemberi KPR yang secara teknis perbankan disebut maturity mismatch dan harus dicarikan solusinya, karena di pasar belum tersedia dana yang sama panjang jangka waktunya dengan jangka waktu KPR yang diberikan.

Program Pembiayaan KPR Bersubsidi

Untuk dapat membantu memenuhi kebutuhan akan perumahan sederhana layak huni dan terjangkau oleh masyarakat, terutama golongan bawah, maka Pemerintah melaksanakan program bantuan perumahan dalam bentuk KPR bersubsidi yang dimulai sejak tahun 1976.

Permasalahan Pembiayaan Perumahan

Pertumbuhan KPR yang pesat di satu pihak menciptakan peluang bagi dunia perbankan untuk membiayannya. Namun di lain pihak juga dapat mengakibatkan ancaman apabila terus memperbesar komposisi kredit yang berkaitan dengan perumahan yang berjangka panjang di dalam portofolio asetnya.
Ancaman ini pada dasarnya disebabkan oleh sebagian besar komposisi portofolio sumber dana yang diperoleh industri perbankan di Indonesia untuk membiayai KPR saat ini yaitu berasal dari dana pihak ketiga yang berjangka waktu pendek dan relatif berfluktuasi tingkat bunganya.

Dengan berdirinya Lembaga Secondary Mortgage Facility (SMF) yang menyelenggarakan kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada Kreditor Asal (Bank) dengan melakukan sekuritisasi (transformasi aset yang tidak likuid menjadi likuid dengan cara pembelian Aset Keuangan dari Kreditur Asal dan penerbitan Efek Beragun Aset), diharapkan dapat menjawab permasalahan dalam pembiayaan perumahan sehingga peranan bank dalam pembiayaan perumahan termasuk rumah susun dapat semakin meningkat.

Permasalahan Pembiayaan Rumah Susun Sederhana (Rusuna)

Terbatasnya lahan dan tingginya harga tanah di pusat kota sehingga pembangunan rusuna sangat sulit dilakukan di kota kota besar. Biaya pembangunan rumah susun sangat besar yaitu 3 (tiga) kali biaya pembangunan rumah biasa. Akibat tingginya harga lahan dan mahalnya biaya pembangunan rumah susun sehingga harga rumah susun menjadi sangat mahal dan makin tidak terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah yang menjadi konsumennya /sasaran rumah susur. Konsumen lebih cenderung untuk membeli Rumah Sederhana dengan pertimbangan harga yang terjangkau dan masih mungkin untuk rumah tumbuh sekalipun jaraknya jauh dari tempat kerja mereka.

Bagi yang belum mampu untuk membeli rumah mereka cenderung untuk kost/sewa di dekat tempat kerja. Proses perijinan/IMB khusus untuk pembangunan rusur, masih melalui prosedur yang relatif sulit. Belum jelasnya ketentuan aspek perencanaan ruang yang meliputi rencana detail tata ruang kota, revaluasi batasan ketinggian bangunan, pembenahan pola dan sistem transportasi publik, perancangan dan pembangunan rusun jarak rusun dengan transportasi publik, fasilitas umum dan sosial, dan ketersediaan jaringan air minum dan BBM yang relatif murah. Belum optimalnya insentif yang memadai bagi pengembang untuk membangun rumah susun sehingga lebih memilih investasi portfolio yang memberikan nilai imbal lebih tinggi.

Peranan Bank BTN dalam Penyediaan Pembiayaan Perumahan

Sejarah perjalanan Bank BTN yang panjang berawal dari lembaga yang bernama “Postspaarbank” didirikan tahun 1897 pada masa pendudukan Belanda. Setelah melalui perjalanan yang panjang di tahun 1963 nama Bank Tabungan Negara mulai diundangkan melalui lembaran negara. Kiprah Bank BTN dalam pemberian kredit perumahan khususnya perumahah sederhana dimulai sejak 1976, sewaktu Bank BTN ditunjuk oleh Pemerintah sebagai penyalur KPR bersubsidi. Sejak tahun 1976 sampai saat ini (per 15 Juli 2007), KPR bersubsidi yang berhasil disalurkan oleh Bank BTN telah mencapai lebih dari 1,88 juta unit dengan nilai lebilh dari Rp18,53 trilyun.

Seiring dengan perkembangan jaman, sejak tahun 1990 Bank BTN juga menyalurkan Kredit perumahan perorangan dengan bunga komersial dan kredit lain yang masih terkait dengan perumahan, antara lain Kredit Griya Utama/KGU (KPR nonsubsidi), Kredit Griya Multi/KGM, dan lainnya. Dari tahun 1990 sampai saat ini tanggai 15 Juli 2007, kredit perumahan perorangan komersial yang berhasil disalurkan oleh Bank BTN telah mencapai lebih dari Rp17,44 trilyun, untuk sekitar 623 ribu debitur.

Visi Bank BTN adalah Menjadi bank yang terkemuka dalam pembiayaan perumahan dan mengutamakan kepuasan nasabah. Dan sebagai komitmen untuk dapat mewujudkan visi tersebut, Bank BTN dalam menetapkan rencana pemberian kredit Tahun Anggaran 2007 (belum termasuk syariah) memberikan porsi terbesar untuk kredit perumahan dan pendukung perumahan, yakni Rp 6,92 trilyun (93.53% dari total rencana Rp7,40 trilyun).

Disamping menyediakan kredit yang sifatnya terkait secara langsung dengan industri perumahan yaitu KPR dan kredit konstruksi, Bank BTN juga menyediakan kredit yang diperuntukkan bagi industri industri yang terkait dengan industri perumahan (housing related), yaitu Kredit Pendukung Perumahan (KPP). KPP ini dapat diberikan dalam skim kredit investasi maupun modal kerja kepada pengusaha yang bergerak di bidang yang terkait dengan perumahan (misalnya: industri genteng, batu bata, batako, semen, penggalian pasir, kayu, dll), baik industrinya maupun perdagangannya.

Peranan Bank BTN dalam Penyediaan Pembiayaan Rumah Susun

Secara umum Bank BTN tetap mempunyai komitmen dan kepedulian yang tinggi untuk mensukseskan Program Pemerintah khususnya dalam bidang perumahan termasuk rumah susun, baik pembiayaan untuk pembangunan rumah susun maupun kepemilikan rumah susun, asal calon debitur (pengembang dan konsumen) memenuhi persyaratan dan ketentuan teknis perbankan.

Selama ini Bank BTN telah berperan dalam pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah Susun untuk beberapa lokasi antara lain Rusun Kebon Kacang Tanah Abang Jakarta, Rusun Kemayoran Jakarta, Rusun Klender Jakarta, Rusun Ilir Barat Palembang dan beberapa rusun lainnya di Indonesia.[2]