silas petra silitonga
123 07 0003
PL ITI
Teori Pertumbuhan wilayah
Teori yang digagaskan adalah teori
“Keynes”, teori ini masuk dalam aliran Keynes, isinya yaitu mengemukakan bahwa
karena upah bergerak lamban, sistem kapitalisme tidak akan secara otomatis
menuju keseimbangan penggunaan tenaga secara penuh (full employment
equilibrium). Akibat yang ditimbulkan adalah justru sebaliknya, equilibrium
deemployment yang dapat diperbaiki melalui kebijakan fiskal atau moneter untuk
meningkatkan permintaaan agregat.
Fenomena tersebut masuk dalam teori
neoklasik. Dalam teori ini terdapat beberapa pernyataan yaitu sebagai berikut :
► Pemenuhan pekerjaan yang terus
menerus tidak dapat diterapkan pada sistem multi-regional dimana persoalan
regional timbul disebabkan karena perbedaan-perbedaan geografis dalam hal
tingkat penggunaan sumber daya.
► Persaingan sempurna tidak dapat
diberlakukan pada perekonomian regional dan spasial.
► Tingkat pertumbuhan terdiri dari 3
sumber: akumulasi modal, penawaran tenaga kerja dan kemajuan teknologi.
► Implikasi dari persaingan sempurna
adalah modal dan tenaga kerja akan berpindah apabila balas jasa faktor-faktor
tersebut berbeda-beda.
► Modal akan bergerak dari daerah yang
mempunyai tingkat biaya tinggi ke daerah yang mempunyai tingkat biaya rendah,
karena keadaan yang terakhir memberikan suatu penghasilan yang lebih tinggi.
► Tenaga kerja yang kehilangan
pekerjaan akan pindah ke daerah lain yang mempunyai lapangan kerja baru
pendorong untuk pembangunan di daerah tersebut.
► Dalam perkembangan ekonomi jangka
panjang senantiasa akan muncul kekuatan tandingan yang dapat menanggulangi
ketidakseimbangan dan mengembalikan penyimpangan kepada keseimbangan yang
stabil sehingga tidak diperlukan intervensi kebijakan secara aktif.
Peran suatu perencana kota dan wilayah
dalam satu pemerintahan kota, kabupaten, dan propinsi adalah sebagai berikut :
- Perencana
sebagai pelayan publik yang netral(berpegang teguh pada profesinya). Para
perencana digunakan untuk memberitahukan masyarakat untuk bertindak yang
paling baik seperti apa yang mereka inginkan. Jika pilihan akan dilakukan,
perencana akan menggunakan keahliannya untuk memperkirakan bagaimana
alternatif-alternatif yang beragam akan dipilih.
Contoh: Pada perencanaan suatu kawasan
perdagangan, perencana memberikan alternatif kepada masyarakat pembeli maupun
pedagang tetapi alternatif itu tidak bersifat memaksa kepada masyarakat.
- Perencana
sebagai pembangun konsensus masyarakat. Dalam pandangan ini perencana tidak
dapat dilepaskan dari politik. Karena perencanaan tidak dapat dilaksanakan
tanpa kemauan politik dan kemauan untuk bertindak, perencana harus dekat
atau bahkan bagian dari proses politik.
Contoh : Politik di sini maksudnya
adalah pemerintah, perencana tidak dapat mengumpulkan data-data untuk
dipertimbangkan dan dijadikan bahan acuan dalam menentukan alternatif bagi
masyarakat.
- Perencana
sebagai enterprenur/wirawasta. Perencana yang menjalankan suatu
agen/kantor yang berorientasi pada tugas, para perencana sering kali
menjadi enterprenur.
Contoh : Misalnya dalam suatu
pembangunan di pusat kota yang menggunakan dana publik untuk menyiapkan lokasi
dan pembebasan tanah. Perencana yang kantornya melaksanakan rancangan proyeknya
juga akan menjalankan pemasarannya. Dengan demikian perencana harus lebih
berperan sebagai enterprenur dari pada perencana tradisional yang hanya
merencana/merancang.
- Perencana
sebagai advokasi. Peranan perencana dalam hal ini bertindak sebagai
perwakilan untuk suatu kelompok tertentu atau posisi dan dipilih untuk
melanjutkan kepentingan tertentu. Perencanaan advokasi, seperti
penasehat hukum tidak selalu mewakili kepentingan publik, tetapi lebih
pada kepentingan klien. Kepentingan itu dapat atau bukan berkaitan
dengan kepentingan publik secara umum.
Contoh : Suatu perusahaan yang terkena
dampak dari buruknya pengaturan drainase kota ingin menyelesaikan masalah
tersebut dengan meminta bantuan kepada perencana kota yang lebih berkompeten
untuk mengatasi hal demikian.
- Perencana sebagai agen perubahan.
Pendekatan ini menekankan perubahan yang radikal pada susunan kehidupan
sosial ekonomi masyrakat, yang sudah mapan, sebagai suatu tujuan
perencanaan jangka panjang. Perencana dalam hal ini menginginkan
perubahan karena timbulnya kejenuhan atas keadaan sekarang yang
dirasakannya.
Contoh : Seorang perencana yang sudah
merasa jenuh terhadap keadaan suatu wilayah yang menurutnya tidak mengalami
kemajuan karena kebijakan perencanaan yang tidak sesuai. Olehnya itu perencana
tersebut mengusahakan agar keadaan yang berlangsung sekarang diubah sedapat
mungkin sesuai dengan yang diinginkannya.
Pengertian ”backwash effects” dan
”spread effects” terdapat dalam teori “inter” dan “intra” wilayah. Backwash
effects contohnya adalah makin bertambahnya permintaan masyarakat suatu wilayah
kaya atas hasil-hasil dari masyarakat miskin berupa bahan makanan pokok seperti
beras yang sumbernya dari pertanian masyarakat wilayah miskin. Sementara Spread
effects contohnya adalah makin berkurangnya kualitas pertanian masyarakat
miskin akibat dampak negatif dari polusi yang disebabkan oleh masyarakat
wilayah kaya.
Trickle down effects adalah
perkembangnan meluasnya pembagian pendapatan. Teori “trickle down
effects” dari pola pembangunan yang diterapkan di wilayah miskin di negara
berkembang dirasa tidak berhasil memecahkan masalah pengangguran, kemiskinan
dan pembagian pendapatan yang tidak merata, baik di dalam negara berkembang
masing maupun antara negara maju dengan negara berkembang. Misalnya yang
terjadi antara negara Indonesia (dalam hal ini dikategorikan wilayah miskin)
dan negara Jepang (wilayah kaya). Indonesia merupakan salah satu pemasok bahan
baku untuk Jepang, sementara kenyataan yang terjadi Jepang semakin kaya dan
Indonesia semakin miskin. Maksudnya, tingkat kemiskinan di Indonesia lebih
tinggi daripada tingkat kemiskinan di Jepang.
Sistem adalah satu kumpulan
komponen/elemen yang bekerja bersama-sama untuk semua tujuan dari keseluruhan.
Teori ”sistem” perencanaan kota dan wilayah adalah suatu proses perencanaan
yang terjadi secara terstruktur dan sistematis yang berawal dari elemen-elemen
penting yang jadi bahan pertimbangan (input), kemudian diproses dengan membahas
hal-hal yang urgen termasuk hubungan-hubungan antara elemen-elemen tadi yang
kemudian menghasilkan suatu output berupa alternatif perencanaan atau
produk-produk perencanaan terhadap suatu kota dan wilayah. Proses perencanaan
tentunya tidak hanya berhenti sampai di situ, dilanjutkan dengan pengawasan dan
kemudian evaluasi terhadap hasil-hasil pelaksanaan produk perencanaan yang
telah dibuat dan direalisasikan.
CARA PENGEMBANGAN WILAYAH
Suatu proyek pembangunan daerah dilaksanakan pada tingkat kabupaten/kota
sebagai unit terrendah dalam hirarki pembangunan. Proyek terkait dengan
jenisnya dan dananya. Setelah jenis dan dananya disediakan maka tahap
berikutnya adalah menetapkan di bagian mana dari daerah kabupaten/kota proyek
tersebut akan dilaksanakan. Ada beberapa cara untuk menetapkan proyek
pembangunan. Cara penetapan proyek biasanya dilakukan, pada tahap awal, melalui
suatu kajian akademis antara lain berdasarkan pendekatan geografi, pendekatan
ekonomi dan lainnya.
Pendekatan geografi dilakukan melalui tahapan penetapan masalah,
pengumpulan data dan analisis data mulai dari kegiatan penyaringan, pengelompokan,
klasifikasi data, kegiatan pengwilayahan, korelasi dan analogi. Oleh karena
adanya keragaman berbagai masalah yang dihadapi masyarakat, berdasarkan
kemampuan keuangan pemerintah dan skala waktu pelaksanaan, disusun skala
prioritas proyek.
Hasil korelasi secara spasial (tumpang tindih atau overlay peta wilayah)
dapat ditunjukan masalah apa sebagai prioritas proyek dan di mana lokasi proyek
tersebut dilaksanakan. Dalam pelaksanaanya, pendekatan geografi tidaklah
sesederhana itu.
Beberapa cara lain untuk menetapkan proyek pembangunan dapat disebutkan
antara lain dengan menerapkan teori Economic Base, Multiplier Effect yang
berkaitan dengan teori input-output dan penerapan teori lokasi,(Location
Theory), teori pusat (Central Place Theory) dan penerapan teori Kutub Pengembangan
(Growth Pole Theory).
- Teori Lokasi. Paling tidak ada tiga hal yang dapat
dijadikan pertimbangan dalam menetapkan lokasi proyek pembangunan yaitu
(1) pengeluaran terrendah (2) jangkauan pemasaran dan (3) keuntungan
tertinggi.
- Teory Pusat Pelayanan. Pola ideal yang diharapkan
terbentuk, asumsi homogin dalam hal bentuk medan, kualitas tanah dan
tingkat ekonomi penduduk serta budayanya, Christaller menyajikan bentuk
pola pelayanan seperti jejaring segi enam (hexagonal). Bentuk pola pelayanan
hexagonal ini secara teoritis mampu memperoleh optimasi dalam hal
efisiensi transportasi, pemasaran dan administrasi (Haggett, 2001)
- Teori Kutub
Pertumbuhan. Berbeda dengan Christaller yang berlatar belakang ahli
Geografi, teori Kutub Pertumbuhan diprakarsai dan dikembangankan oleh para
ahli ekonomi. Teori ini melahirkan konsep ekonomi seperti konsep Industri
Penggerak (leading industry), konsep Polarisasi dan konsep penularan
(trickle atau spread effect).
Beberapa kelemahan penerapan cara cara di atas dalam
penetapan proyek pembangunan dihadapkan pada factor politis pengambil kebijakan
di tingkat kabupaten/kota utamanya pada era otonomi daerah saat ini, factor
ketersediaan dana dan bidang tanah tempat dilaksanakannya proyek tersebut. Pada
akhirnya dapat disimpulkan bahwa pendekatan geografi menjadi factor kunci dalam
kegiatan penetapan proyek pembangunan berdasarkan penetapan prioritas secara
tepat.
Penerapan Teori Growth Pole di Indonesia
Di Indonesia konsep growth pole juga diadopsi
dalam strategi pembangunan wilayahnya. Dampaknya terbentuk megaurban pada
berbagai wilayah yang sulit dibatasi, seperti Jabodetabek, Gerbangkertasusila
dan lain-lain. Masalah berikutnya terjadi ketimpangan wilayah, terutama dalam
hal kesejahteraan antara kota-kota utama dan wilayah di sekitarnya. Oleh karena
itu ada kecenderungan masyarakat untuk mendekati kawasan potensial/sumber
penghidupan, yaitu menuju kota-kota utama tersebut
Dampak Penerapan Konsep Growth Pole di Indonesia
Dampak penerapan konsep growth pole lebih banyak
dirasakan oleh penduduk pedesaan, hal ini mengingat harapan terjadinya trickle
down effect tidak terpenuhi, bahkan terjadi backwash effect. Oleh
karena itu perlu dipikirkan konsep baru yang dapat memecahkan persoalan yang
diakibatkan penerapan konsep grwoth pole sekaligus meningkatkan
kesejahteraan pada masa mendatang, utamanya bagi penduduk pedesaan. Dan
mengingat di Indonesia, pulau Jawa sangat besar merasakan dampak dari konsep growth
pole dibanding pulau-pulau lain di Indonesia, maka penerapan agropolitan
pada pulau Jawa akan dibahas lebih mendalam.
Dasar pertimbangan penerapan konsep agropolitan, akan
menjadi dasar mengapa konsep agropolitan sesuai digunakan untuk memecahkan
permasalahan dampak konsep growth pole. Kemudian persyaratan suatu kota
atau wilayah menjadi kawasan agropolitan diberikan sebagai alat penentuan
pilihan kota-kota yang akan menjadi agropolitan. Berdasarkan kajian beberapa
pemikir agropolitan, diusulkan konsep struktur tata ruang agropolitan, dan
dikaitkan permasalahan yang terjadi di pulau Jawa, pada setiap pembahasan
dilakukan kajian awal kemungkinan konsep agropolitan diterapkan di pulau Jawa.
Seperti halnya di negara asalnya dan di negara-negara
lain, penerapan konsep growth pole di Indonesia juga menimbulkan dampak
yang tidak dapat dihindari, seperti sentralisasi, urbanisasi dan mega urban,
pengangguran di perkotaan dan pedesaan, bias perkotaan dan pro Jawa.
- Sentralisasi
Sentralisasi pada sektor industri
yang ada di Indonesia sebagai suatu dampak dari penerapan suatu teori Growth
Pole, dampak tersebut dapat dilihat dari data PDB di Indonesia yang dibagi
dalam wilayah pedesaan dan perkotaan. Apabila diasumsikan sektor primer lebih
terkosenrasi pada wilayah pedesaan sedangkan untuk sektor sekunder dan tersier
terkosentrasi pada wilayah perkotaan. Pada tahun 1976-1998 terjadi peningkatan
pada sektor sekunder dan tersier pada PDB di Indonesia. Sehingga adanya
perbedaan suatu kebutuhan pada wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan. Dimana
pada wilayah perkotaan lebih besar nilai PDB dibandingkan dengan wilayah
pedesaan.
- Urbanisasi dan Megaurban
Sentralisasi dari kegiatan industri
di kutub-kutub wilayah perkotaan telah menciptakan suatu lapangan pekerjaan dan
mengakibatkan banyak penduduk dari wilayah pedesaan untuk pindah ke kutub kota.
Terbatasnya pekerjaan yang ada di wilayah pedesaan mengakibatkan timbulnya
urbanisasi penduduk desa menuju kota. Akibat dari urbanisasi maka kota-kota
yang terkosentrasi oleh kegiatan industri akan membentuk suatu wilayah yang
metropolitan dan megaurban, seperti Jabotabek, Bandungraya dan sebagainya.
Ini tentunya sebagai akibat
penerapan konsep growth pole yang diterapkan dalam strategi keruangan di
Indonesia. Yaitu konsentrasi pertumbuhan kegiatan ekonomi pada ruang.
Konsentrasi ini di satu sisi akan didapatkan efisiensi, tetapi di pihak lain
bila konsentrasi semakin besar, efisiensi sebagai hasil dari trickling dowmn
effect, atau penetesan kesejahteraan pada wilayah sekitarnya ternyata tidak
terjadi, bahkan sebaliknya terjadi backwash effect, penyapuan sumberdaya
yang ada di sekitar kutub atau pole yang ada.
Kosentrasi kegiatan tersebut dan
urbanisasi atau terjadinya megaurban ternyata tidak didukung oleh penyediaan
fasilitas yang cukup di wilayah perkotaan. Hal ini diakibatkan karena adanya
keterbatasan pemerintah dalam fasilitas tersebut. Karena jumlah penduduk yang
ada di wilayah perkotaan melebihi kapasitas suatu kota.
Pada akhirnya terjadi penurunan
kualitas kehidupan di wilayah kutub (pole) maupun wilayah perkotaan, sehingga
meningkatkan biaya sosial sebagai akibat diseconomy scale, seperti
pencemaran air dan udara, marak pencurian dll.
- Pengangguran di Perkotaan dan
Pedesaan
Di
perkotaan lebih didominasi oleh kegiatan industri, kegiatan tersebut memiliki
kemampuan terbatas dalam menyerap tenaga kerja, sementara lapangan kerja yang
ada di pedesaan sangat terbatas juga.
Banyak
pengangguran di pedesaan karena diakibatkan oleh :
o
Menurunnya kualitas Sumber Daya Alam (SDA).
o
Kurangnya penghargaan terhadap hasil
pertanian.
o
Kurangnya hasil produksi, yang biasanya dapat
dilakukan 2 kali dalam setahun menjadi 1 kali dalam setahun. Kurangnya tingkat
hasil produksi tersebut diakibatkan oleh perubahan cuaca dan pasokan air akibat
berkurangrangnya mata air di pegunungan.
Dari uraian diatas mengakibatkan
sulitnya masyarakat pedesaab dalam mencari alternatif pekerjaan, oleh karena
itu banyak masyarakat pedesaan yang mencari alternatif baru antara lain menuju
kota untuk mendapatkan pekerjaan seperti :
o Buruh bangunan.
o Buruh galian.
o Kuli dan
lain-lain.
Dan bahkan masyarakat pedesaan dalam
mencari alternatif pekerjaannya ke luar negeri untuk menjadi TKI
sumber :